ASEAN Didorong Bersatu Padu Guna Memperkokoh Industri Besi Baja Hijau di Tengah Gempuran Tarif Global
Pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan melambat menjadi 2,8 persen pada tahun 2025, menurut laporan Dana Moneter Internasional (IMF). Penurunan ini mencerminkan tekanan ekonomi global yang berkelanjutan. Kendati demikian, ekonomi Indonesia menunjukkan resiliensinya dengan mencatat pertumbuhan sebesar 4,87 persen pada kuartal I-2025, didukung oleh kinerja positif di sebagian besar sektor usaha.
Sektor industri pengolahan tetap menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, menyumbang 19,25 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam lima tahun terakhir, ekspor besi dan baja mengalami peningkatan signifikan sebesar 22,18 persen. Konsumsi baja nasional juga mengalami peningkatan, dari 11,4 juta ton pada tahun 2015 menjadi 17,4 juta ton pada tahun 2023. Proyeksi menunjukkan konsumsi baja akan terus meningkat, mencapai 18,3 juta ton pada tahun 2024 dan melonjak hingga 47 juta ton pada tahun 2035.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyoroti tantangan perdagangan global yang semakin kompleks akibat pemberlakuan tarif struktural sebesar 25 persen terhadap komoditas besi, baja, dan aluminium. Dalam sambutannya pada acara Indonesia Iron Steel Summit & Exhibition (ISSEI) 2025 di Jakarta Convention Center, Airlangga menekankan perlunya menjaga daya saing nasional di tengah lingkungan perdagangan yang proteksionis. Acara tersebut juga menjadi saksi penandatanganan nota kesepahaman ASEAN Iron & Steel Council oleh perwakilan dari Malaysia, Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Penguatan Kerja Sama Regional ASEAN
Airlangga menyerukan agar ASEAN, sebagai salah satu produsen baja terbesar di dunia, meningkatkan kerja sama regional. Ia mencatat bahwa tarif struktural saat ini tidak membedakan antara besi, aluminium, dan baja tahan karat, sehingga industri besi dan baja di Asia Tenggara harus mencakup ketiga jenis logam tersebut. Penandatanganan nota kesepahaman ASEAN Iron & Steel Council dipandang sebagai langkah positif untuk memperkuat rantai pasok di kawasan.
Dengan populasi lebih dari 600 juta jiwa dan nilai ekonomi melebihi 3 triliun dollar Amerika Serikat, ASEAN menawarkan potensi pasar yang besar bagi industri besi dan baja. Momentum ini dapat dimanfaatkan untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan kawasan Indo-Pasifik, terutama di tengah ketegangan perdagangan antara AS dan Tiongkok.
Menghadapi Tantangan Global
Airlangga juga menyoroti tantangan global lainnya, termasuk oversupply dari Tiongkok yang berpotensi membanjiri pasar Indonesia, serta kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa yang mengenakan tarif tambahan pada produk karbon tinggi seperti baja. Ia menekankan perlunya kesiapan untuk menghadapi tantangan-tantangan ini, dan mendorong kawasan Asia Tenggara untuk menyusun strategi menuju produksi baja yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia juga sedang meninjau regulasi anti-dumping untuk mencegah masuknya produk oversupply ke pasar domestik. Airlangga menegaskan pentingnya memperkuat industri nasional melalui integrasi dari hulu ke hilir, sehingga lebih efisien dan berorientasi pada kebutuhan dalam negeri.