Aksi Mogok Ojek Online: Dampak Ekonomi dan Ancaman Bagi UMKM

Aksi mogok massal pengemudi ojek online (ojol) yang berlangsung pada Selasa, 20 Mei 2025, telah memicu gelombang disrupsi tidak hanya pada sektor transportasi, tetapi juga merambah ke sektor ekonomi yang lebih luas. Sebuah studi yang dilakukan oleh Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) mengungkapkan bahwa potensi kerugian akibat penurunan aktivitas ini mencapai angka fantastis, yaitu Rp 188 miliar hanya dalam satu hari.

Perhitungan kerugian ini didasarkan pada estimasi penurunan layanan ride-hailing hingga 50% di kota-kota besar yang menjadi pusat aksi mogok. Muhammad Anwar, seorang peneliti dari IDEAS, menjelaskan bahwa nilai transaksi harian sektor ride-hailing diperkirakan mencapai Rp 375,89 miliar. Dengan penurunan aktivitas hingga separuhnya, maka hampir Rp 188 miliar hilang dari perputaran ekonomi harian. Angka ini belum memperhitungkan efek domino yang mungkin terjadi pada sektor-sektor lain yang terkait.

Aksi mogok ini juga memberikan pukulan telak bagi para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang sangat bergantung pada layanan pesan-antar makanan seperti GoFood dan GrabFood. Bagi warung-warung kecil, arus kas harian adalah urat nadi keberlangsungan usaha. Terganggunya arus kas ini dapat mengancam kelangsungan hidup usaha mereka. Data dari IDEAS menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, total Gross Transaction Value (GTV) dari layanan Gojek seperti GoRide, GoFood, dan GoSend mencapai Rp 63,04 triliun. Sementara itu, GTV Grab secara global mencapai 18,4 miliar dollar AS, atau sekitar Rp 293 triliun dengan asumsi kurs Rp 16.000 per dollar. Kontribusi pasar Indonesia diperkirakan mencapai 20%, sehingga nilai GTV Grab Indonesia tahun lalu ditaksir mencapai Rp 58,75 triliun.

Selain Gojek dan Grab, sejumlah layanan alternatif seperti Maxim, inDrive, Anterin, dan Nujek juga turut meramaikan pasar ride-hailing di Indonesia. Secara keseluruhan, sektor ride-hailing di Indonesia menyumbang nilai transaksi tahunan sekitar Rp 135,32 triliun, atau setara dengan Rp 375,89 miliar per hari. Aksi mogok ini tidak hanya mengganggu mobilitas masyarakat, tetapi juga berdampak pada sektor logistik skala kecil. Layanan seperti GoSend dan GrabExpress yang selama ini menjadi andalan pelaku usaha mikro dan individu untuk pengiriman cepat juga mengalami gangguan.

Anwar menambahkan bahwa aksi mogok ini juga membuka risiko reputasi bagi perusahaan penyedia aplikasi. Keberlanjutan bisnis mereka sangat bergantung pada jaringan pengemudi yang luas. Namun, ketika mitra pengemudi merasa tidak dihargai, tidak dilindungi, dan tidak diberi kejelasan soal algoritma penghasilan, maka keberlanjutan model bisnis itu sendiri terancam. Terkait aksi mogok ini, sejumlah perusahaan aplikasi memberikan respons yang berbeda-beda. Yuan Ifdal Khoir, Public Relation Specialist Maxim Indonesia, menyatakan bahwa demonstrasi tidak berdampak pada stabilitas perusahaan karena mitra pengemudi mereka lebih memprioritaskan waktu untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan. Sementara itu, hingga saat ini, pihak manajemen PT Grab Teknologi Indonesia dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk belum memberikan tanggapan resmi terkait aksi mogok ini.

Implikasi dari aksi mogok ojol ini sangat kompleks dan multidimensi. Selain kerugian ekonomi yang signifikan dan ancaman bagi UMKM, aksi ini juga menyoroti isu-isu krusial terkait kesejahteraan pengemudi, transparansi algoritma, dan keberlanjutan model bisnis ride-hailing di Indonesia. Pemerintah dan para pemangku kepentingan perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah-masalah ini dan menciptakan ekosistem ride-hailing yang lebih adil dan berkelanjutan.