Menakar Kepemimpinan: Lebih dari Sekadar Kekuasaan, Mencari Sosok Penggembala Nilai

Di tengah riuhnya perbincangan tentang demokrasi dan pembangunan, sebuah pertanyaan mendasar muncul: apakah bangsa ini sekadar kekurangan pemimpin yang berani mengambil keputusan, atau justru kehilangan sosok 'penggembala' yang rela mendengarkan dan merawat nilai-nilai kemanusiaan? Era modern dengan segala kemajuan teknologi dan data, seolah mengukur segalanya dengan angka dan statistik, melupakan esensi dari kesejahteraan yang seharusnya menyentuh rasa cukup dan keadilan bagi seluruh warga negara.

Negara modern menjelma menjadi sebuah algoritma raksasa, di mana setiap kebijakan diukur berdasarkan indikator dan dikelola melalui dashboard. Partisipasi demokrasi direduksi menjadi sekadar angka kehadiran, sementara kesejahteraan diukur dari grafik pertumbuhan ekonomi. Mereka yang rasional dipuja, sementara mereka yang menjunjung tinggi etika dan moralitas seringkali terpinggirkan. Inilah era di mana negara terlalu sibuk berhitung, namun miskin dalam merasakan denyut nadi kehidupan rakyatnya. Pembangunan infrastruktur megah terus digenjot, namun mengabaikan kampung-kampung yang terbelah tanpa suara. Konsumsi rumah tangga melonjak, namun kegelisahan warga tetap menghantui. Rasionalitas yang kering dari nilai-nilai kemanusiaan ini, melahirkan kekuasaan yang autistik—pintar secara teknis, namun buta secara moral.

Laporan World Bank Indonesia Economic Prospects (Desember 2023) mengindikasikan stabilitas pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5%. Namun, ironisnya, ketimpangan sosial tetap menganga lebar. Indeks Gini yang menjadi tolok ukur ketimpangan, stagnan di angka 0,384 dalam lima tahun terakhir. Senada dengan temuan tersebut, OECD Economic Survey (2023) melaporkan bahwa sekitar 20% warga Indonesia hidup tanpa jaminan sosial yang memadai, terutama di era ekonomi digital yang semakin mempercepat eksklusi terhadap kelas pekerja informal. Semua ini dibungkus dengan label 'rasionalitas', padahal seringkali hanyalah utilitarianisme yang disederhanakan. Kebijakan dianggap sah selama memberikan manfaat jangka pendek, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap agency dan dignity warga negara—kemampuan mereka untuk menentukan jalan hidup yang bermakna bagi diri mereka sendiri.

Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century (2018) telah mengingatkan bahwa kita hidup di dunia yang dikuasai oleh narasi, namun kehilangan kemampuan untuk membedakan antara kebenaran dan sensasi. Negara terjebak dalam dataism, keyakinan bahwa semua keputusan terbaik lahir dari pemrosesan data, bukan dari suara hati nurani. Lalu, siapa yang akan menggembala nilai-nilai kemanusiaan di tengah gempuran data dan algoritma? Siapa yang akan memastikan bahwa nalar tidak berubah menjadi kekejaman yang dingin dan metodis?

Demokrasi Indonesia, meski masih hidup secara prosedural, namun mengalami kemunduran secara substansial. Democracy Index versi The Economist (2024) menunjukkan penurunan skor dari 6.81 menjadi 6.71. Kebebasan berbicara tidak menjamin bahwa suara rakyat didengar. Suara mayoritas seringkali dibajak oleh minoritas yang menguasai modal dan komunikasi. Masyarakat sipil mengalami distorsi representasi. Ruang publik ramai, namun sepi dari diskursus yang berkualitas.

Rasionalitas, alih-alih membebaskan, justru menjadi mekanisme legitimasi kekuasaan. Kebijakan publik dibungkus dengan jargon 'berbasis bukti', namun siapa yang memiliki data? Siapa yang menentukan validitasnya? Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2020) menegaskan bahwa kita berada dalam ancaman ketika rasionalitas dipaksa melayani logika kapital, bukan kemanusiaan. Penggunaan big data dan AI mulai menggantikan deliberasi politik. Kebijakan muncul bukan dari diskusi publik, melainkan dari algoritma perhitungan suara.

Sementara itu, para pekerja honorer kehilangan kepastian di tengah efisiensi birokrasi. Petani tergusur demi 'lumbung pangan'. Masyarakat adat kehilangan hutan atas nama 'investasi strategis'. International Institute for Environment and Development (2023) mencatat bahwa Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan konflik agraria terbesar di Asia Tenggara—sebagian besar dipicu oleh proyek-proyek pembangunan yang tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat. Ini bukan kejahatan yang terang-terangan, melainkan kekosongan moral yang dilazimkan. Hannah Arendt menyebutnya banality of evil—kejahatan yang berjalan melalui prosedur yang dianggap netral. Kini, kejahatan itu terdigitalisasi: dibungkus antarmuka yang ramah dan jargon keberlanjutan.

Di tengah semua itu, kita bertanya: siapa yang menjaga demokrasi? Siapa yang menggembala, bukan sekadar memerintah? Di Jawa, angon bukan sekadar menggiring ternak. Ia adalah laku hidup. Seorang angon (gembala) tidak berdiri di podium, tak bersaing dalam debat rating tinggi. Ia berjalan perlahan di belakang, memastikan tak ada yang tercecer. Angon adalah kepemimpinan dalam bentuk kehadiran: tulus, sabar, sungguh-sungguh, waspada dan berhati-hati, serta selalu membersamai. Tindakan yang menyatukan perhatian, kelembutan, dan tanggung jawab dalam satu tarikan napas.

Politik modern menolak itu. Demokrasi hari ini lebih menyukai yang cepat dan viral daripada yang bijak dan sabar. Pemimpin kontemplatif dianggap lemah. Mereka yang sabar dicap tidak tegas. Politik berubah menjadi pasar retorika. Kita kehilangan gembala yang tahu bahwa memimpin bukan hanya soal keputusan, tetapi tentang menjawab kesunyian rakyat yang tak terdengar. UNDP Human Development Report (2023) mencatat jurang ketimpangan persepsi politik di negara berkembang—antara harapan dan kenyataan. Di Indonesia, jurang itu diperparah oleh literasi digital yang timpang. Masyarakat mudah dimanipulasi oleh framing yang dibungkus seolah-olah 'rasional', padahal sarat bias.

Barangkali, kita perlu mengembalikan kepercayaan pada praktik civic education dan literasi publik yang bermakna. Bukan sekadar pelajaran kewarganegaraan di kelas, tetapi kesadaran kolektif yang dibentuk melalui pengalaman hidup bersama—di balai warga, di ruang diskusi terbuka, di kanal digital yang tak didikte buzzer. Kita butuh infrastruktur kebudayaan dan kepercayaan yang menumbuhkan kedewasaan berpikir, bukan sekadar kecepatan merespons. Hal yang menghidupkan percakapan, bukan hanya komentar. Hal yang mengakar pada empati, bukan hanya algoritma.

Bangsa tidak ambruk oleh kekurangan teknologi, melainkan oleh krisis moral dalam menempatkan kebenaran sebagai landasan legitimasi. Kepemimpinan sejati menuntut kemampuan mendengar dan menggembala—mengelola kompleksitas sosial dengan kesabaran dan empati, bukan otoritas atau kuasa semata.

Pada akhirnya, demokrasi sejati melampaui metrik kuantitatif, berfungsi sebagai ruang deliberasi inklusif yang menjunjung keadilan dan martabat. Negara kuat adalah negara yang mampu memediasi antara suara mayoritas dan hak minoritas, menghadirkan kepemimpinan yang berorientasi pada proses kolektif, bukan dominasi individual.

Demokrasi membutuhkan gembala—bukan untuk menggiring, melainkan menjaga ritme kebersamaan agar tak ada yang tercecer oleh laju zaman. Dalam iklim publik yang jenuh oleh performa dan algoritma, kepemimpinan yang paling dibutuhkan bukanlah yang terdengar paling nyaring, tetapi yang paling tekun mendengar. Itulah laku angon yang hari ini semakin langka: kepemimpinan yang hadir bukan untuk menguasai, melainkan untuk menemani perjalanan bersama serta melayani dengan kesungguhan menuju keadilan yang benar-benar hidup.