Jeritan Pekerja UMR Jakarta di Sidang Tapera: Gaji Pas-pasan, Tapera Jadi Beban Tambahan

Rahmat Saputra, seorang pekerja dengan gaji setara Upah Minimum Regional (UMR) DKI Jakarta tahun 2025, menyampaikan keluh kesahnya di depan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dalam sidang uji materi UU Nomor 4 Tahun 2016 itu, Rahmat mengungkapkan bahwa gajinya yang sebesar Rp 5,6 juta terasa pas-pasan untuk menghidupi keluarganya, apalagi dengan adanya kewajiban iuran Tapera.

"Gaji saya memang di atas UMR, tapi tetap saja tidak cukup," ujar Rahmat dalam persidangan yang digelar pada Rabu (21/5/2025). Ayah dua anak ini menjelaskan bahwa ia adalah tulang punggung keluarga, termasuk menanggung biaya hidup kedua orang tuanya. Dengan status istri sebagai ibu rumah tangga, Rahmat merasakan beban finansial yang cukup berat.

Rahmat merinci berbagai potongan yang mengurangi gaji bulanannya. Selain iuran wajib BPJS sebesar 1 persen dari gaji, terdapat pula iuran BPJS Ketenagakerjaan yang memotong Rp 168.900 atau 3 persen dari gaji. Belum lagi potongan PPh 21 sebesar Rp 42.965 dan potongan Koperasi Karyawan yang mencapai Rp 1.200.000 untuk tabungan dan pinjaman. Total potongan yang harus ditanggung Rahmat setiap bulannya mencapai Rp 1.468.209.

Akibatnya, dari gaji Rp 5,6 juta, Rahmat hanya menerima penghasilan bersih sebesar Rp 4,1 juta. Namun, angka ini pun masih harus dipotong lagi untuk berbagai kebutuhan mendesak. Angsuran rumah sebesar Rp 1,6 juta, biaya listrik Rp 400.000, dan iuran perumahan Rp 150.000 merupakan pengeluaran rutin yang tak bisa dihindari.

"Untuk biaya makan sehari-hari, kebutuhan pokok, bekal jajan anak, dan bensin motor, minimal saya mengeluarkan Rp 1,5 juta per bulan," ungkap Rahmat. Sebagai anak pertama, ia juga memiliki tanggung jawab untuk membantu orang tua dan keluarganya dengan pengeluaran rata-rata Rp 950.000 per bulan.

Jika ditotal, kebutuhan hidup Rahmat mencapai Rp 5,3 juta, jauh melebihi penghasilan bersihnya yang hanya Rp 4,1 juta. "Artinya, gaji saya masih minus Rp 1.192.364," tegasnya. Untuk menutupi kekurangan tersebut, Rahmat dan istrinya mencoba peruntungan dengan berjualan kecil-kecilan di rumah.

Oleh karena itu, Rahmat merasa sangat terbebani dengan adanya UU Tapera yang mewajibkan kepesertaan bagi seluruh pekerja, termasuk mereka yang sudah memiliki cicilan perumahan. Ia khawatir, potongan iuran Tapera sebesar 2,5 persen akan semakin membebani kondisi keuangannya.

"Jika saya harus membayar iuran Tapera sebesar 2,5 persen, itu berarti ada tambahan potongan sekitar Rp 140.000 dari gaji saya. Padahal, saat ini saya sedang berjuang untuk melunasi KPR selama 15 tahun. Terus terang, saya merasa tidak membutuhkan tabungan perumahan rakyat karena saya masih berjuang untuk melunasi KPR," keluhnya.

Dalam permohonan uji materi ini, 11 serikat pekerja mengajukan keberatan atas kewajiban iuran Tapera dengan potongan gaji sebesar 2,5 persen. Mereka meminta MK untuk menghapus kata "wajib" dalam Pasal 7 Ayat (1) UU Tapera dan mengubahnya menjadi "dapat" agar bersifat opsional. Selain itu, mereka juga meminta MK untuk menyatakan Pasal 9 Ayat (1) UU Tapera bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa pekerja yang secara sukarela memilih menjadi peserta wajib didaftarkan oleh pemberi kerja.