Polemik Biaya Haji, Petugas Haji Daerah Lumajang Gagal Bertugas di Tanah Suci

Polemik Biaya Haji, Petugas Haji Daerah Lumajang Gagal Bertugas di Tanah Suci

Lumajang, Jawa Timur – Seorang petugas haji daerah (PHD) asal Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, terpaksa mengurungkan niatnya untuk berangkat ke Tanah Suci. Imron Fauzi, nama petugas tersebut, seharusnya bertugas mendampingi 860 calon jemaah haji (CJH) asal Lumajang. Namun, perbedaan interpretasi mengenai sumber pembiayaan perjalanan ibadah haji (BIPIH) menjadi penyebab utama pembatalan keberangkatannya.

Fauzi, yang merupakan satu-satunya PHD dari Lumajang yang batal berangkat, berpegang teguh pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 Pasal 25 Ayat (3). Undang-undang tersebut menyatakan bahwa biaya operasional PHD seharusnya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ia juga merujuk pada Keputusan Menteri Agama Nomor 166 dan 167 Tahun 2025 yang memiliki ketentuan serupa.

Fauzi mengungkapkan kekecewaannya karena diminta untuk membayar sendiri BIPIH yang telah ditetapkan sebesar Rp 94.934.259. Menurutnya, aturan yang ada sudah jelas menyatakan bahwa biaya tersebut seharusnya ditanggung oleh APBD. Ia mempertanyakan mengapa dirinya, sebagai petugas yang ditunjuk oleh negara, justru dibatalkan keberangkatannya secara sepihak tanpa konfirmasi yang jelas.

“Aturannya kan jelas, dibiayai oleh APBD, ini aturan mulai 2019, artinya sudah lebih dari 5 tahun aturan ini ada, lah sekarang saya malah disuruh bayar sendiri,” ujar Fauzi dengan nada kecewa.

Fauzi menceritakan bahwa masalah ini bermula ketika ia hendak mengambil hasil pemeriksaan kesehatan. Saat itu, ia diminta untuk melunasi BIPIH terlebih dahulu. Ia menolak karena meyakini bahwa pelunasan seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lumajang. Akibat penolakan tersebut, Fauzi mengaku tidak pernah diajak untuk mengikuti manasik haji dan tidak pernah dihubungi lagi oleh Kementerian Agama (Kemenag) Lumajang.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lumajang, Ahmad Faisol Syaifulloh, membenarkan adanya PHD yang batal berangkat karena belum melunasi BIPIH. Namun, terkait aturan yang menyebutkan bahwa pelunasan BIPIH PHD seharusnya dibebankan kepada pemerintah daerah, Faisol enggan memberikan komentar lebih lanjut. Ia menyatakan bahwa hal tersebut menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Faisol menambahkan bahwa di daerah lain, banyak juga PHD yang membayar sendiri BIPIH ketika sudah ditetapkan sebagai petugas yang akan mendampingi calon jemaah haji. Ia menjelaskan bahwa tugas Kemenag adalah melakukan skrining, dan setelah terpilih, nama-nama petugas diserahkan kepada pemerintah daerah untuk ditindaklanjuti.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Lumajang, Agus Triyono, mengakui bahwa Pemkab Lumajang tidak menganggarkan pembiayaan petugas haji daerah pada tahun 2025. Ia berdalih bahwa meskipun program PHD sudah lama berjalan, pihaknya baru mengetahui ketentuan tersebut beberapa bulan lalu. Agus berjanji bahwa mulai tahun anggaran 2026, pembiayaan petugas haji daerah akan dianggarkan dalam APBD.

“Petugas haji daerah ini program lama, tapi jujur kami baru mengetahui ketentuan itu beberapa bulan kemarin, sehingga kami belum menganggarkan pembiayaan PHD. Berdasarkan pengalaman ini, kami akan anggarkan mulai APBD 2026, sebelumnya memang kami belum pernah menganggarkan,” jelas Agus.

Kasus yang menimpa Imron Fauzi ini menjadi sorotan dan membuka diskusi mengenai kejelasan aturan dan tanggung jawab terkait pembiayaan petugas haji daerah. Diharapkan, kejadian serupa tidak terulang kembali di masa mendatang, dan para petugas haji daerah dapat menjalankan tugasnya dengan optimal tanpa terbebani masalah biaya.