Kementerian Dalam Negeri Soroti Minimnya Anggaran Perubahan Iklim dalam APBN
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyoroti alokasi anggaran untuk penanganan perubahan iklim yang dinilai masih minim, hanya mencapai 4,3 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal, isu perubahan iklim menjadi prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal Z A, mengungkapkan bahwa pemerintah mengalokasikan rata-rata Rp 102,65 triliun per tahun untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Namun, angka ini dianggap belum memadai untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks.
"Kami berharap anggaran untuk penanganan climate change dapat ditingkatkan setiap tahunnya, melebihi angka 4,3 persen. Kami juga mendorong agar APBD dapat memberikan dukungan yang lebih signifikan," ujar Safrizal dalam sebuah forum di Jakarta Pusat.
Safrizal mengakui bahwa pendanaan untuk mengatasi krisis iklim masih jauh dari kata cukup. Pemerintah terus berupaya mencari sumber pembiayaan tambahan dari berbagai pihak, termasuk melalui program Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC).
Program CRIC merupakan kerjasama internasional yang didanai sebagian oleh Uni Eropa. Tujuannya adalah meningkatkan kapasitas kota-kota di Asia Tenggara dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Di Indonesia, program ini diimplementasikan di 10 kota, yaitu:
- Pekanbaru
- Bandar Lampung
- Pangkal Pinang
- Cirebon
- Mataram
- Banjarmasin
- Samarinda
- Gorontalo
- Kupang
- Ternate
Safrizal mencontohkan Samarinda sebagai salah satu kota yang menghadapi tantangan iklim ekstrem, seperti kekeringan dan banjir. Alih fungsi lahan yang berlebihan, kurangnya kesadaran masyarakat, dan sistem pengendalian banjir yang belum memadai menjadi faktor-faktor yang memperparah situasi.
"Di Samarinda, kami membantu mengatasi masalah pengalihan fungsi kawasan yang berlebihan, kurangnya kepedulian warga kota, dan kurangnya sistem pengontrol banjir. Saat musim kemarau, kondisinya sangat kering, sementara saat musim hujan, banjir melanda," jelas Safrizal.
Selain itu, praktik pembakaran lahan ilegal juga menjadi masalah serius di Samarinda. Safrizal meminta pemerintah kota untuk mengatasi praktik ilegal tersebut.
Program CRIC memberikan beberapa rekomendasi untuk Samarinda, antara lain:
- Pengembangan kapasitas sumber daya internal secara berkala.
- Evaluasi dan pemantauan berkelanjutan untuk memastikan tindakan sesuai target dan sejalan dengan pencapaian SDGs.
- Memperkuat koordinasi antar institusi.
- Investasi infrastruktur untuk penanggulangan bencana.
- Evaluasi tahunan terhadap rencana aksi rantai iklim.
- Pendidikan berbasis iklim.
- Rencana aksi perubahan iklim yang berpihak pada kelompok rentan.
- Ketersediaan data rantai yang akurat.
Safrizal menekankan pentingnya ketersediaan data yang akurat dan sistem komunikasi digital yang baik. Ia berharap data yang ada terus diperbaiki agar lebih akurat dan dapat digunakan secara efektif dalam penanganan perubahan iklim.