Menelisik Akar Premanisme: Lebih dari Sekadar Penindakan, Perlu Pendekatan Kesejahteraan dan Humanis
Mengurai Kompleksitas Premanisme: Antara Penegakan Hukum dan Kesejahteraan Sosial
Gelombang penertiban aksi premanisme yang tengah digencarkan di berbagai wilayah Indonesia memunculkan pertanyaan mendasar: apakah penindakan hukum semata cukup untuk memberantas fenomena ini? Asep Sumaryana, pengamat sosial dari Universitas Padjadjaran, berpendapat bahwa akar permasalahan premanisme jauh lebih kompleks dan memerlukan pendekatan yang lebih holistik.
Menurut Asep, keterlibatan individu dalam premanisme seringkali berakar dari pengalaman hidup yang keras dan lingkungan yang membentuk pola pikir mereka. Kekerasan menjadi sesuatu yang dianggap lumrah, bahkan sebagai cara untuk bertahan hidup. Lingkungan pergaulan juga memegang peranan penting. Demi mendapatkan pengakuan dan status, seseorang mungkin terpaksa mengikuti arus negatif, bahkan melakukan tindakan yang bertentangan dengan hati nurani.
Namun, Asep menekankan bahwa faktor ekonomi tidak boleh diabaikan. Banyak pelaku premanisme yang sebenarnya berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, dengan angka pengangguran yang tinggi, orang mungkin terdorong untuk melakukan apa saja demi kelangsungan hidup. Aspek administrasi juga menjadi sorotan, dengan dugaan adanya oknum-oknum yang memanfaatkan praktik premanisme sebagai sumber pendapatan ilegal.
Oleh karena itu, penanggulangan premanisme tidak bisa hanya menyasar pelaku di lapangan. Asep menekankan perlunya menindak tegas pihak-pihak yang berada di balik layar, yang memanfaatkan premanisme untuk keuntungan pribadi. Pemerintah, menurutnya, harus hadir dan mengevaluasi oknum-oknum yang terlibat.
Pendekatan Humanis dan Solusi Jangka Panjang
Asep berpendapat bahwa penyelesaian premanisme memerlukan pendekatan jangka panjang yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Hukuman keras saja tidak cukup. Pendidikan moral dan etika harus ditanamkan sejak dini, baik dalam keluarga maupun lingkungan sekitar. Tokoh masyarakat dan agama memiliki peran penting dalam membangun ruang interaksi sosial yang sehat dan menumbuhkan karakter positif.
Aspek ekonomi juga harus menjadi perhatian utama. Pemerintah tidak hanya harus melakukan penindakan, tetapi juga memberikan solusi ekonomi yang berkelanjutan, seperti pelatihan keterampilan, penciptaan lapangan kerja, dan distribusi bantuan sosial yang tepat sasaran. Pendidikan formal, informal, dan non-formal juga memegang peranan krusial dalam melindungi generasi mendatang dari pengaruh lingkungan negatif.
Proses pembentukan karakter, menurut Asep, bukanlah sesuatu yang instan. Oleh karena itu, ia mengajak semua pihak, termasuk keluarga, tokoh agama, dan masyarakat, untuk peduli terhadap lingkungan di sekitar anak-anak, agar mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan norma yang berlaku. Dengan pendekatan yang komprehensif dan melibatkan seluruh elemen masyarakat, diharapkan rantai premanisme dapat diputus dan generasi mendatang dapat terhindar dari jeratan lingkungan yang merusak.
Pentingnya Pendidikan dan Keterlibatan Masyarakat
Pendidikan, baik formal maupun informal, memiliki peran sentral dalam membentuk karakter individu. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat, memegang tanggung jawab besar dalam menanamkan nilai-nilai positif dan memberikan contoh yang baik. Masyarakat pun memiliki andil dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
Keterlibatan aktif dari seluruh elemen masyarakat menjadi kunci keberhasilan dalam menanggulangi premanisme. Dengan bersama-sama menciptakan lingkungan yang positif, memberikan pendidikan yang berkualitas, dan memberikan solusi ekonomi yang berkelanjutan, diharapkan premanisme dapat diatasi secara efektif dan berkelanjutan.