Ribuan Pekerja Manufaktur Indonesia Terdampak PHK Massal Awal 2025

Ribuan Pekerja Manufaktur Indonesia Terdampak PHK Massal Awal 2025

Industri manufaktur Indonesia menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di awal tahun 2025, dengan lebih dari 10.000 pekerja yang telah kehilangan pekerjaan atau menghadapi ancaman PHK. Penutupan pabrik, relokasi produksi ke negara lain dengan biaya operasional lebih rendah, dan penurunan permintaan pasar menjadi faktor utama di balik krisis ketenagakerjaan ini. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak ekonomi yang lebih luas dan menyoroti tantangan yang dihadapi oleh sektor manufaktur dalam menghadapi dinamika ekonomi global.

Beberapa perusahaan besar telah mengumumkan PHK secara signifikan, sementara sejumlah perusahaan lain dikabarkan tengah mempertimbangkan langkah serupa. Dampaknya meluas ke berbagai sektor, mulai dari tekstil dan garmen hingga furnitur dan makanan cepat saji. Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah menyerukan agar proses PHK dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan melalui kesepakatan bersama antara perusahaan dan pekerja, namun tetap saja ribuan pekerja menghadapi ketidakpastian ekonomi yang signifikan.

Berikut ini daftar sembilan perusahaan yang teridentifikasi telah atau akan melakukan PHK massal, berdasarkan laporan dari berbagai media nasional per Senin (10/3/2025):

  • PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Group: PHK terhadap 10.669 karyawan secara bertahap sejak Januari 2025, menyusul pernyataan pailit perusahaan pada Oktober 2024. Rincian PHK meliputi:

    • 1.065 karyawan PT Bitratex Semarang (Januari)
    • 8.504 karyawan PT Sritex Sukoharjo (Februari)
    • 956 karyawan PT Primayuda Boyolali (Februari)
    • 40 karyawan PT Sinar Panja Jaya Semarang (Februari)
    • 104 karyawan PT Bitratex Semarang (Februari)
  • PT Sanken Indonesia: Sekitar 450 pekerja di Bekasi terdampak PHK akibat penutupan pabrik pada Juni 2025. Pabrik saat ini masih beroperasi dengan kapasitas terbatas untuk memenuhi permintaan domestik.

  • Yamaha Music Indonesia: Penutupan dua pabrik di Cikarang (Maret 2025) dan Pulo Gadung (Mei/Juni 2025) mengancam 1.100 karyawan. Relokasi produksi ke China dan Jepang menjadi alasan utama penutupan.

  • KFC Indonesia: Laporan mengenai PHK karyawan di beberapa gerai sejak awal 2025.

  • PT Tokai Kagu Indonesia: Perusahaan furnitur di Bekasi tutup dan merumahkan lebih dari 100 pekerja.

  • PT Danbi International: Perusahaan di Garut, Jawa Barat, dinyatakan pailit pada 10 Februari 2025, meninggalkan 2.079 buruh yang menunggu kepastian pembayaran hak-hak mereka.

  • PT Mbangun Praja Industri (Bapintri): Pabrik tekstil di Cimahi, Jawa Barat, melakukan PHK terhadap 267 buruh akibat kerugian finansial.

  • PT Adis Dimension Footwear: Perusahaan produsen sepatu merumahkan 1.500 karyawan.

  • PT Victory Ching Luh: Sedang dalam proses PHK terhadap 2.000 karyawan, menurut data Disnakertrans Provinsi Banten.

Ancaman terhadap Stabilitas Ekonomi

Gelombang PHK ini menunjukkan tekanan ekonomi yang signifikan pada industri manufaktur Indonesia. Selain pailit, relokasi produksi menjadi strategi yang diadopsi banyak perusahaan untuk menekan biaya, meskipun hal ini berdampak buruk pada lapangan kerja domestik. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk meredam dampak PHK massal ini dan menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif bagi sektor manufaktur, sehingga dapat mengurangi risiko PHK di masa mendatang dan menciptakan lapangan kerja baru.

Kehilangan mata pencaharian bagi ribuan pekerja ini berpotensi memicu masalah sosial dan ekonomi yang lebih luas, sehingga memerlukan respons cepat dan terukur dari pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk memberikan solusi dan jaring pengaman sosial yang memadai.