Kebijakan Nol Sampah di Gunung Rinjani Tuai Apresiasi, Efektivitas Implementasi Jadi Sorotan
Gunung Rinjani, salah satu destinasi pendakian populer di Indonesia, tengah menjadi sorotan terkait implementasi kebijakan zero waste. Inisiatif yang digagas oleh Kementerian Kehutanan ini bertujuan untuk meminimalisir dampak negatif sampah terhadap lingkungan dan mempromosikan pariwisata berkelanjutan.
Kebijakan ini mewajibkan setiap pendaki untuk mendeklarasikan secara detail barang bawaan mereka, mulai dari jumlah, jenis, hingga kemasan. Penggunaan plastik sekali pakai dilarang keras, dan makanan serta minuman harus dikemas dalam wadah yang dapat digunakan kembali. Selain itu, diterapkan pula sistem pack in-pack out, di mana seluruh barang yang dibawa naik harus dibawa turun kembali dalam kondisi yang sama.
Bagi pendaki yang kedapatan melanggar aturan ini, sanksi tegas telah disiapkan, termasuk denda hingga Rp5 juta dan larangan mendaki di masa mendatang. Langkah ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan meningkatkan kesadaran para pendaki akan pentingnya menjaga kebersihan gunung.
Apresiasi terhadap kebijakan ini datang dari berbagai pihak, termasuk Siska Nirmala, seorang pendaki sekaligus inisiator gerakan Zero Waste Indonesia. Menurutnya, langkah yang diambil oleh Taman Nasional Rinjani patut dicontoh oleh gunung-gunung lain di Indonesia. Namun, ia juga memberikan beberapa catatan penting terkait efektivitas implementasi kebijakan ini.
Lebih dari Sekadar Pelarangan
Siska menekankan bahwa konsep zero waste tidak hanya sebatas pelarangan membawa plastik atau pengemasan ulang perbekalan. Lebih dari itu, zero waste juga mencakup pengelolaan sampah yang dihasilkan dan edukasi yang komprehensif kepada semua pihak yang terlibat, termasuk pendaki, porter, dan pemandu.
"Saat saya terakhir mendaki Rinjani pada September 2024, belum ada sistem pengelolaan sampah yang memadai. Padahal, zero waste tidak hanya tentang meminimalisir, tetapi juga mengelola sampah yang tetap ada," ujarnya.
Pentingnya Edukasi yang Menyeluruh
Edukasi menjadi kunci keberhasilan implementasi zero waste. Para pendaki, porter, dan pemandu perlu diberikan pemahaman yang mendalam tentang tujuan dan manfaat dari kebijakan ini. Mereka juga perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola sampah secara bertanggung jawab.
"Apakah ada briefing mengenai alasan mengapa perbekalan harus dipindahkan ke wadah lain? Apakah pendaki memahami pentingnya bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan? Hal-hal seperti ini perlu dijelaskan secara rinci. Jangan sampai konsep zero waste disalahartikan hanya sebagai penggantian kemasan," tegas Siska.
Ia menambahkan bahwa pendekatan edukasi harus disesuaikan dengan karakteristik kawasan dan sasaran yang berbeda-beda. Edukasi bagi pendaki berpengalaman tentu berbeda dengan edukasi bagi porter atau warga lokal. Dengan demikian, diharapkan semua pihak dapat memahami dan menjalankan kebijakan zero waste dengan baik.
Durasi pendakian Rinjani yang rata-rata 3 hari 2 malam menuntut manajemen perbekalan yang baik, pemahaman tentang pengelolaan sampah, dan rasa tanggung jawab yang tinggi dari setiap pendaki. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka kebijakan zero waste di Gunung Rinjani berpotensi menjadi contoh sukses bagi pengelolaan sampah di gunung-gunung lain di Indonesia.