Antara Reformasi dan Realitas: Ketika Perut Berbicara Lebih Keras dari Retorika
Reformasi, sebuah kata yang menggema dengan janji perubahan, kerap kali terasa jauh dari realitas sehari-hari. Di satu sisi, kita berbicara tentang sistem, hukum, konstitusi, dan pemerintahan. Di sisi lain, ada keluhan tentang 'repot nasi'—sebuah ungkapan sederhana namun mendalam tentang kebutuhan dasar yang belum terpenuhi. Kesenjangan inilah yang menjadi potret buram Indonesia, sebuah negara yang seolah bimbang antara idealisme dan realitas.
Mei, bulan yang lekat dengan semangat reformasi 1998, menjadi pengingat pahit akan janji-janji perubahan yang belum sepenuhnya terwujud. Saat itu, mahasiswa turun ke jalan bukan hanya menuntut reformasi politik, tetapi juga karena desakan ekonomi yang mencekik. Harga-harga melambung, pengangguran meningkat, dan harapan pupus di tengah krisis. Reformasi, saat itu, adalah panggilan dari perut yang lapar.
Namun, 27 tahun berlalu, pertanyaan yang sama kembali menghantui: Apa yang telah benar-benar berubah? Politik yang gagal menyentuh perut rakyat akan kehilangan relevansinya. Demokrasi yang hanya berputar di ruang rapat, tanpa dampak nyata bagi kehidupan sehari-hari, hanyalah parade wacana yang hampa.
Rakyat memilih bukan berdasarkan manifesto politik yang muluk, melainkan berdasarkan janji konkret tentang beras murah, minyak goreng terjangkau, dan pendidikan gratis. 'Repot nasi' bukan sekadar kebutuhan; ia adalah kritik diam terhadap negara yang terlalu sibuk beretorika, namun lalai mendengarkan jeritan rakyat.
Ketika para pejabat merancang cetak biru ekonomi, rakyat hanya menginginkan jalan di depan rumah mereka tidak becek saat hujan. Ketika para legislator membahas undang-undang digital, rakyat hanya berharap sinyal telepon seluler dapat menjangkau desa mereka. Di sinilah paradoks itu muncul: reformasi yang gemilang, namun perut yang tetap lapar.
Reformasi, sejak awal, adalah proyek besar. Namun, proyek itu justru menciptakan jurang pemisah antara elite dan rakyat, antara bahasa media dan realitas pasar, antara pasal-pasal konstitusi dan nasib petani yang kehilangan lahan. Jurang ini tumbuh subur karena kita terlalu fokus pada sistem, dan melupakan manusia.
Para politisi berbicara tentang "transformasi ekonomi", tetapi harga cabai di pasar tak kunjung turun. Pemerintah menggembar-gemborkan "distribusi kesejahteraan", tetapi tukang ojek tetap kesulitan membayar biaya sekolah anak-anak mereka.
Jurang ini bukan hanya geografis, tetapi juga simbolik. Ini adalah luka karena merasa tidak diperhatikan, tidak disapa, tidak dihargai. Dalam luka itu, suara rakyat berubah. Mereka tidak lagi berharap, hanya menunggu. Mereka tidak lagi memelihara cita-cita, hanya bertahan.
Bahasa menjadi senjata utama dalam reformasi, tetapi juga alat yang melukai. Ketika para pemimpin berbicara tentang "penguatan fiskal", yang rakyat dengar hanyalah: harga-harga akan naik lagi. Ketika pemerintah berbicara tentang "restrukturisasi", yang rakyat tahu adalah: kami akan dipecat. Kata-kata besar tidak selalu membawa harapan. Kadang, mereka hanya membungkus realitas yang pahit.
'Repot nasi' adalah bahasa lain yang lebih jujur. Bahasa yang sederhana, tanpa statistik yang rumit, yang keluar dari mulut orang yang benar-benar lapar. Dalam bahasa itu, kekuasaan diuji: mampukah ia turun dari menara kata-kata dan menyentuh tanah kehidupan?
Jika tidak, bahasa akan menjadi tembok. Dan rakyat akan berhenti mendengarkan.
Reformasi telah menghasilkan banyak simbol: reformasi birokrasi, reformasi hukum, reformasi militer, reformasi pendidikan. Namun, semua simbol itu berjalan seperti kendaraan tanpa penumpang. Terlihat bergerak, tetapi tidak membawa siapa pun. Ia lebih sering menjadi alasan untuk anggaran daripada alat perubahan.
Sementara itu, di lapangan, reformasi tidak pernah terasa. Guru honorer tetap menunggu surat keputusan. Petani tetap dikejar tengkulak. Anak-anak tetap berjalan kaki belasan kilometer untuk bersekolah. Mereka tahu kata reformasi, tetapi tidak tahu seperti apa wujudnya.
'Repot nasi' adalah simbol yang lebih konkret. Ia tidak butuh baliho. Ia hadir dalam antrean panjang, dalam harga minyak goreng yang melambung, dalam utang warung yang terus menumpuk.
Di situlah republik sebenarnya diuji: bukan pada seberapa hebat narasi yang disusun, tetapi pada seberapa mampu negara membuat rakyatnya merasa tenang.
Kita terlalu sering merayakan reformasi sebagai masa lalu, sebagai tonggak sejarah. Tetapi kita lupa: reformasi belum selesai. Ia bukan monumen, melainkan proses yang berkelanjutan.
Namun, karena terlalu sering dikenang tanpa dikerjakan, ia menjadi semacam nostalgia. Seperti lagu lama yang diputar di tengah kota yang kini penuh gedung dan kemacetan.
Ingatan itu penting. Tetapi ingatan yang tidak dibarengi dengan tindakan hanya akan melahirkan kebosanan.
Dan rakyat pun jenuh: mengapa terus berbicara tentang reformasi, jika hidup mereka tetap harus menunggu bantuan? Tetap harus meminta surat pengantar untuk mendapatkan BPJS? Tetap harus menggadaikan sepeda motor untuk membeli pupuk?
Mereka tidak butuh ingatan besar. Mereka butuh negara hadir, hari ini, di tempat mereka.
Bahkan dalam 'repot nasi', ada perlawanan. Ia tidak selalu berupa demonstrasi di jalan. Ia bisa berupa pilihan untuk tidak memilih, berupa diam yang disengaja, berupa tawa sinis saat mendengar janji kampanye, atau berupa pilihan untuk tetap hidup tanpa berharap.
Itu bukanlah sikap apatis. Itu adalah bentuk politik yang paling jujur: politik dari perut, politik dari luka, politik dari mereka yang tidak lagi percaya, tetapi juga belum sepenuhnya menyerah.
Reformasi hanya akan hidup kembali jika ia mampu mendengar bentuk-bentuk perlawanan kecil itu. Bukan dengan menindas, tetapi dengan hadir, dengan mengakui kesalahan, dengan memulai kembali dari hal yang paling sederhana: membuat rakyat tidak 'repot' untuk makan.
'Repot nasi' bukan sekadar keluhan. Ia adalah pengingat bahwa politik tidak akan pernah benar-benar besar jika tidak menyentuh hal-hal kecil. Bahwa sistem tidak berarti apa-apa jika tidak menjawab kebutuhan sehari-hari. Bahwa reformasi, jika ingin tetap hidup, harus tahu cara berjalan ke dapur rakyat, bukan hanya ke ruang sidang.
Bulan Mei adalah bulan sejarah, bulan ketika demokrasi diperjuangkan dengan tubuh, darah, dan harapan.
Reformasi 1998 tidak akan bermakna jika hari ini kita lupa bahwa demokrasi tidak hanya diperjuangkan di jalan, tetapi juga di meja makan, di ladang yang gersang, di dompet yang tipis, di antrean minyak goreng, dan di suara rakyat yang semakin pelan, tetapi belum sepenuhnya hilang.
Barangkali inilah saatnya kita menata ulang pemahaman. Bahwa demokrasi bukan hanya hak untuk memilih, tetapi hak untuk kenyang. Bahwa kebebasan berbicara tidak cukup jika tidak diiringi dengan akses pada makanan, kesehatan, dan pendidikan.
Karena reformasi yang tidak mampu menjawab 'repot nasi'—pada akhirnya hanya akan menjadi retorika. Indah, tetapi lapar.