Polemik Dana Parpol: Antara Pencegahan Korupsi dan Potensi Penyalahgunaan Anggaran

Polemik Dana Parpol: Antara Pencegahan Korupsi dan Potensi Penyalahgunaan Anggaran

Usulan pemberian dana besar kepada partai politik (parpol) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kembali mencuat ke permukaan, kali ini datang dari seorang Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Alasan yang mendasari usulan ini adalah untuk memutus rantai korupsi yang melibatkan partai politik dan proses politik di sekitarnya. Namun, di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap integritas politik, gagasan ini justru menuai perdebatan.

Apakah pemberian dana besar benar-benar menjadi solusi efektif untuk mengatasi korupsi, atau justru menjadi jalan pintas yang menyesatkan dan berpotensi menimbulkan masalah baru? Gagasan ini dinilai terlalu menyederhanakan masalah korupsi yang kompleks. Korupsi politik bukan hanya disebabkan oleh kekurangan dana, tetapi juga oleh faktor-faktor lain seperti:

  • Kurangnya integritas
  • Lemahnya akuntabilitas internal partai
  • Minimnya kontrol publik terhadap aktivitas partai

Jika akar masalahnya adalah struktur politik yang rusak, maka suntikan dana saja tidak akan memberikan dampak jangka panjang tanpa adanya reformasi kelembagaan yang mendasar. Alih-alih menyelesaikan masalah, pendekatan ini justru membuka peluang terjadinya moral hazard baru. Dana bantuan parpol yang ada saat ini pun belum sepenuhnya dikelola secara transparan dan akuntabel. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan lemahnya pertanggungjawaban parpol dalam penggunaan dana bantuan negara. Sebagian laporan keuangan disusun asal-asalan, tidak sesuai dengan realitas kegiatan, dan bahkan tidak diaudit secara profesional.

Jika dana yang jumlahnya relatif kecil saja belum bisa dipertanggungjawabkan, bagaimana publik bisa yakin bahwa dana dalam jumlah besar tidak akan mengalami penyimpangan serupa atau bahkan lebih buruk? Selain itu, belum ada sistem evaluasi yang terukur terhadap kinerja parpol, serta mekanisme sanksi yang tegas bagi partai yang menyalahgunakan dana bantuan negara. Bantuan keuangan kepada parpol diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Pasal 34A ayat (1) menyatakan bahwa parpol wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran dana bantuan dari APBN dan APBD kepada BPK secara berkala satu tahun sekali untuk diaudit paling lambat satu bulan setelah tahun anggaran berakhir. Besaran bantuan keuangan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018, yang merupakan perubahan kedua atas PP Nomor 5 Tahun 2009. Dalam PP tersebut, ditetapkan bahwa:

  • Parpol tingkat pusat yang memperoleh kursi di DPR mendapatkan bantuan sebesar Rp 1.000 per suara sah.
  • Parpol tingkat provinsi yang memperoleh kursi di DPRD provinsi mendapatkan bantuan sebesar Rp 1.200 per suara sah.
  • Parpol tingkat kabupaten/kota yang memperoleh kursi di DPRD kabupaten/kota mendapatkan bantuan sebesar Rp 1.500 per suara sah.

Meskipun regulasi ini telah ditetapkan, realisasi dan pengawasan penggunaan dana tersebut masih menjadi persoalan. Banyak laporan yang menunjukkan bahwa penggunaan dana bantuan tidak sepenuhnya digunakan untuk pendidikan politik dan operasional sekretariat. Pendanaan publik terhadap partai politik sebenarnya bukan hal baru dalam sistem demokrasi modern. Banyak negara maju memberikan subsidi negara kepada partai politik sebagai upaya menjaga integritas proses demokrasi. Di Jerman, misalnya, negara memberikan subsidi besar kepada parpol, tetapi diikuti dengan regulasi ketat: laporan keuangan wajib dipublikasikan, diaudit oleh lembaga independen, dan diawasi langsung oleh parlemen. Hal serupa juga berlaku di Swedia dan Belanda. Prinsipnya sederhana: subsidi negara adalah privilege, bukan hak mutlak. Partai yang tidak menjalankan fungsi demokratis dengan baik dapat kehilangan hak atas dana publik. Model ini tidak serta-merta bisa diterapkan begitu saja di Indonesia karena indeks persepsi korupsi kita masih rendah, sistem pengawasan internal parpol lemah, dan transparansi laporan keuangan partai belum menjadi budaya.

Dana besar hanya layak diberikan apabila prasyarat demokratis telah terpenuhi: partai terbuka terhadap audit publik, laporan keuangan diumumkan secara daring, kaderisasi dijalankan berbasis merit, dan seleksi calon legislatif dilakukan dengan transparan dan bebas mahar politik. Bantuan dana negara seharusnya bersifat "conditional grant", bukan "unconditional." Negara bisa menetapkan indikator penilaian seperti jumlah kader aktif, keberagaman keterwakilan (termasuk perempuan dan penyandang disabilitas), serta konsistensi pendidikan politik kepada masyarakat. Partai yang tidak memenuhi standar dapat ditangguhkan pemberiannya. Negara perlu mengembangkan sistem evaluasi independen berbasis partisipasi publik. Artinya, masyarakat bisa mengakses laporan keuangan parpol dan menilai sendiri apakah uang rakyat digunakan untuk kepentingan publik atau kepentingan elite. Penegakan hukum terhadap keuangan politik harus diperkuat. Tanpa penindakan atas pelanggaran, insentif perbaikan kelembagaan hanya akan menjadi utopia. KPK, BPK, dan lembaga pengawas pemilu seharusnya bersinergi untuk memastikan setiap rupiah yang digunakan partai bisa dipertanggungjawabkan.

KPK seharusnya tidak memulai dari usulan pendanaan, melainkan dari gagasan reformasi. Demokrasi bukan sistem yang bisa diselesaikan dengan uang semata. Ia hidup dari kepercayaan publik, keterbukaan, dan akuntabilitas. Gagasan bahwa korupsi dapat dicegah hanya dengan menambah anggaran justru melemahkan esensi demokrasi yang menjunjung tinggi tanggung jawab dan integritas. Lebih jauh, usulan KPK ini mengandung risiko menyempitkan makna pemberantasan korupsi sebagai urusan transaksi fiskal. Ini bukan hanya soal anggaran, melainkan soal perbaikan budaya politik. Yang dibutuhkan hari ini bukan pemborosan APBN demi kompromi politik, melainkan keberanian institusi negara termasuk KPK untuk memaksa partai politik menjalani reformasi menyeluruh. Bukan negara yang tunduk pada partai, tetapi partai yang harus tunduk pada nilai-nilai demokrasi dan akuntabilitas publik.