DPRD Surabaya Soroti Penyalahgunaan Alamat Rumah Ibadah untuk Pembuatan KTP

Praktik penyalahgunaan alamat tempat ibadah sebagai domisili dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi sorotan serius di Surabaya. Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya mengungkapkan adanya indikasi modus baru yang memanfaatkan celah administrasi kependudukan, terutama oleh pendatang yang ingin mendapatkan KTP Surabaya.

Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, menyampaikan keprihatinannya atas fenomena ini. Menurutnya, para pemohon KTP mencoba mengakali sistem dengan mencantumkan alamat masjid, gereja, atau tempat ibadah lainnya sebagai alamat domisili. Tujuannya, diduga untuk mendapatkan akses ke berbagai program pemerintah kota, seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan beasiswa. Yona menekankan bahwa praktik ini tidak bisa dibenarkan dan berpotensi melanggar aturan administrasi kependudukan yang berlaku. Ia menduga adanya intervensi dari pihak luar yang berupaya memuluskan permohonan KTP tersebut, padahal pemohon tidak berstatus sebagai pengurus atau petugas resmi tempat ibadah.

Politisi dari Partai Gerindra ini menegaskan bahwa tidak ada landasan hukum yang memperbolehkan penggunaan alamat rumah ibadah sebagai domisili KTP, kecuali bagi mereka yang memang bertugas dan tinggal di sana, seperti pendeta, takmir, atau marbot. Ia merujuk pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006, yang mengatur tentang pendirian rumah ibadah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), namun tidak mengatur tentang penggunaan alamat rumah ibadah untuk keperluan administrasi kependudukan.

Yona juga menyoroti peran penting perangkat pemerintah di tingkat RT, RW, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) dalam memverifikasi kebenaran data domisili pemohon KTP. Ia meminta agar Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Surabaya bertindak tegas dan tidak mudah terpengaruh oleh tekanan dari pihak manapun dalam memproses permohonan KTP yang mencurigakan. Kecurigaan utama adalah banyaknya pemohon yang berasal dari luar Surabaya dan sengaja mencantumkan alamat rumah ibadah karena tidak memiliki tempat tinggal resmi di kota tersebut.

Fenomena ini dikhawatirkan akan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, seperti mempermudah akses pendidikan, pekerjaan, atau layanan publik lainnya. Yona berharap sistem administrasi kependudukan dapat mendeteksi dan mencegah praktik curang ini, serta meminta petugas untuk lebih peka dan jeli dalam memverifikasi alamat domisili pemohon KTP.