Jose Mujica, Mantan Presiden Uruguay, Wafat di Usia 89 Tahun: Penolakannya pada Ponsel dan Refleksi tentang Kemanusiaan
Uruguay berduka atas kepergian Jose "Pepe" Mujica, mantan presiden yang dikenal dunia atas kesederhanaan dan pandangan hidupnya yang unik. Mujica menghembuskan nafas terakhirnya di Montevideo pada usia 89 tahun, meninggalkan warisan yang jauh melampaui batas negaranya.
Kepergiannya memicu gelombang refleksi tentang sosoknya yang kontroversial namun dihormati. Dikenal karena gaya hidupnya yang sederhana, menolak kemewahan dan memilih tinggal di pertaniannya, Mujica menjadi simbol perlawanan terhadap konsumerisme dan ketidaksetaraan. Salah satu aspek menarik dari pandangannya adalah sikapnya terhadap teknologi, khususnya telepon pintar atau smartphone.
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan pada Juni 2024 dengan The New York Times, Mujica mengungkapkan alasannya meninggalkan ponsel. Dia merasa terganggu oleh arus informasi yang konstan dan dangkal. Baginya, smartphone justru menjauhkan manusia dari kemampuan untuk merenung dan memahami diri sendiri. Ia berpendapat bahwa manusia perlu belajar untuk berkomunikasi dengan diri sendiri, sebuah proses internal yang menurutnya menyelamatkan hidupnya.
Mujica menemukan inspirasi dalam alam. Ia melihat semut sebagai contoh komunitas yang terorganisir, dan burung hornero sebagai arsitek alami. Baginya, alam adalah guru yang mengajarkan tentang keseimbangan dan harmoni. Ia bahkan mengaku hampir menganut panteisme, keyakinan bahwa Tuhan ada di mana-mana, dalam segala sesuatu di alam semesta.
Lebih lanjut, Mujica menjelaskan bahwa masalah utama bukan pada teknologinya itu sendiri, melainkan pada ketidaksiapan manusia dalam menggunakannya secara bijak. Menurutnya, manusia belum mampu mengendalikan diri dalam menghadapi godaan informasi dan konektivitas yang ditawarkan oleh smartphone.
Mujica menekankan pentingnya komunikasi tatap muka. Ia percaya bahwa percakapan langsung, yang melibatkan gestur, sentuhan, dan ekspresi wajah, tidak dapat digantikan oleh teknologi. Ia berpendapat bahwa manusia adalah makhluk emosional yang seringkali membuat keputusan berdasarkan perasaan, baru kemudian mencari pembenaran rasional.
"Kita tidak seperti robot. Kita belajar untuk berpikir, tetapi pertama-tama kita adalah makhluk yang emosional. Kita percaya bahwa kita memutuskan dengan kepala kita. Sering kali kepala menemukan argumen untuk membenarkan keputusan yang dibuat oleh perasaan. Kita tidak sesadar yang kita kira," ujarnya.
Mujica menyamakan kecenderungan manusia untuk mengikuti insting dengan sapi yang mencari padang rumput hijau. Menurutnya, naluri dasar untuk mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit adalah bagian tak terpisahkan dari diri kita. Meskipun sulit untuk melepaskan diri dari jati diri tersebut, Mujica mengajak untuk lebih sadar akan pengaruhnya dalam kehidupan kita.
Kepergian Jose Mujica bukan hanya kehilangan bagi Uruguay, tetapi juga bagi dunia. Pemikirannya yang sederhana namun mendalam tentang kehidupan, teknologi, dan kemanusiaan akan terus menginspirasi generasi mendatang.