Roy Suryo dan Dokter Tifa Menghadapi Pemeriksaan Polisi Terkait Dugaan Pemalsuan Ijazah Presiden Jokowi
Penyelidikan terkait dugaan pemalsuan ijazah yang melibatkan Presiden Joko Widodo terus bergulir. Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Roy Suryo, memenuhi panggilan dari Polda Metro Jaya pada hari Kamis (15/4/2025) untuk memberikan keterangan sebagai terlapor dalam kasus ini.
Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, Kabid Humas Polda Metro Jaya, mengonfirmasi kehadiran Roy Suryo. Menurut keterangannya, Roy Suryo tiba di ruang pemeriksaan Subdit Keamanan Negara (Kamneg) Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya pada pukul 10.05 WIB. Proses klarifikasi terhadap yang bersangkutan dimulai sekitar pukul 10.15 WIB.
Selain Roy Suryo, dokter Tifa, yang juga berstatus sebagai terlapor, turut menjalani pemeriksaan di Subdit Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Sementara itu, terlapor lain dengan inisial ES tidak hadir dalam agenda pemeriksaan tersebut.
Kasus ini bermula ketika Presiden Joko Widodo melaporkan sejumlah pihak ke Polda Metro Jaya pada Rabu (30/4/2025) atas tuduhan penyebaran informasi palsu terkait ijazahnya. Laporan tersebut tercatat dengan nomor LP/B/2831/IV/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA.
"Ini sebetulnya masalah ringan, urusan tuduhan ijazah palsu. Tetapi memang perlu dibawa ke ranah hukum agar semuanya jelas dan gamblang," ujar Jokowi saat memberikan keterangan di Polda Metro Jaya.
Yakup Hasibuan, kuasa hukum Presiden Jokowi, mengungkapkan bahwa terdapat lima orang yang dilaporkan terkait kasus ini. Kelima orang tersebut memiliki inisial RS, ES, RS, T, dan K.
"Kami sampaikan peristiwanya ada 24 obyek (video) yang Pak Jokowi sudah melaporkan. Itu juga diduga dilakukan oleh beberapa pihak. Mungkin inisialnya kalau boleh saya sampaikan ada RS, ES, RS, T, dan K," jelas Yakup Hasibuan.
Dalam laporan tersebut, Presiden Jokowi menjerat para terlapor dengan pasal-pasal berlapis, termasuk Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP, serta Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat (1), Pasal 32 ayat (1) juncto Pasal 48 ayat (1), dan/atau Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal-pasal ini mengatur tentang pencemaran nama baik, fitnah, serta penyebaran informasi yang menimbulkan ujaran kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) melalui media elektronik.