Pengangkatan CPNS dan PPPK Serentak: Antara Standardisasi dan Kebutuhan Instansi
Pengangkatan CPNS dan PPPK Serentak: Antara Standardisasi dan Kebutuhan Instansi
Kebijakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) yang menetapkan pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) secara serentak pada tahun 2025 dan 2026 telah menuai kontroversi. Komisi II DPR RI, melalui Wakil Ketuanya Zulfikar Arse, mengungkapkan kekhawatiran akan potensi kendala administratif dan kerugian bagi calon Aparatur Sipil Negara (ASN) akibat kebijakan ini. Pengangkatan serentak, menurut Zulfikar, berpotensi mengabaikan prinsip efektivitas, efisiensi, dan kepastian hukum dalam pengelolaan sumber daya manusia pemerintahan.
Surat Edaran Kemenpan-RB Nomor B/1043/M.SM.01.00/2025 yang menjadi dasar kebijakan ini, bertujuan untuk standardisasi dan koordinasi nasional. Namun, kebijakan ini dinilai terlalu kaku dan mengabaikan realitas di lapangan. Setiap instansi memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, baik dari sisi jumlah maupun urgensi pengangkatan pegawai. Instansi yang membutuhkan tenaga kerja segera dapat terhambat oleh kebijakan ini, berdampak pada pelayanan publik dan efektivitas kerja birokrasi. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip good governance yang menekankan fleksibilitas dan responsivitas terhadap kondisi yang berkembang.
Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menetapkan bahwa pengangkatan CPNS dan PPPK harus berdasarkan kebutuhan organisasi dan ketersediaan anggaran. Dengan demikian, memaksakan pengangkatan serentak tanpa mempertimbangkan kebutuhan riil di lapangan dinilai sebagai langkah yang tidak bijaksana. Instansi yang sudah mengalokasikan anggaran dan membutuhkan tenaga kerja segera seharusnya tidak perlu menunggu jadwal nasional. Penundaan ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi calon ASN yang telah dinyatakan lulus seleksi.
Dampak Hukum dan Sosial Pengangkatan Serentak
Dari perspektif kepastian hukum, penundaan pengangkatan CPNS dan PPPK menimbulkan ketidakjelasan dan berpotensi merugikan calon ASN. Mereka memiliki hak untuk segera diangkat setelah memenuhi seluruh tahapan seleksi. Penundaan tanpa alasan yang kuat bertentangan dengan asas kepastian hukum dalam administrasi negara. Situasi ini juga menimbulkan dampak sosial, terutama bagi mereka yang telah mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya dengan keyakinan akan segera diangkat sebagai ASN. Ketidakpastian ini berpotensi menciptakan ketidakadilan administratif dan memunculkan potensi gugatan hukum.
Solusi yang Lebih Fleksibel
Komisi II DPR RI telah menyuarakan pentingnya revisi kebijakan ini dan mendesak Kemenpan-RB untuk melakukan evaluasi yang komprehensif dan berbasis kebutuhan masing-masing instansi. Salah satu solusi yang diajukan adalah menerapkan mekanisme pengangkatan bertahap. Mekanisme ini memungkinkan setiap instansi untuk melakukan pengangkatan sesuai dengan kebutuhan dan kesiapannya, tanpa harus terikat pada jadwal nasional. Penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan pengangkatan CPNS dan PPPK selaras dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), terutama asas kemanfaatan dan kepastian hukum.
Dengan memberikan fleksibilitas dalam pengangkatan, pemerintah dapat memastikan efektivitas birokrasi dan kesejahteraan calon ASN. Keberadaan mekanisme yang lebih fleksibel dan responsif akan menghindari potensi sengketa hukum dan memastikan kepastian hukum bagi seluruh pihak. Penting bagi pemerintah untuk menghindari persepsi bahwa kepastian hukum dapat berubah-ubah sesuai dengan kebijakan yang berlaku.
Kesimpulannya, perdebatan seputar pengangkatan CPNS dan PPPK serentak menyoroti perlunya keseimbangan antara standardisasi nasional dan kebutuhan spesifik masing-masing instansi. Revisi kebijakan yang mengakomodasi fleksibilitas menjadi kunci untuk menciptakan sistem yang adil, efisien, dan efektif dalam memenuhi kebutuhan aparatur negara.