Nakbah ke-77: Urgensi Solusi Komprehensif bagi Konflik Palestina-Israel
Mengenang 77 Tahun Nakbah: Sebuah Refleksi atas Konflik Palestina-Israel
Tepat 77 tahun silam, dunia menyaksikan peristiwa pahit yang dikenal sebagai Nakbah, atau malapetaka, bagi bangsa Palestina. Deklarasi berdirinya negara Israel pada 15 Mei 1948, di atas tanah yang telah lama menjadi rumah bagi rakyat Palestina, memicu gelombang pengungsian massal yang dampaknya masih terasa hingga kini.
Konflik Israel-Palestina bukan sekadar sengketa wilayah, melainkan cerminan dari ketidakadilan sistemik, dominasi politik sepihak, dan kegagalan komunitas internasional untuk menegakkan hukum internasional secara konsisten. Di tengah situasi yang kompleks ini, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana cara mewujudkan solusi yang adil, berkelanjutan, dan menghormati hak-hak semua pihak?
Realitas Kemanusiaan yang Terabaikan
Sejak Oktober 2023, eskalasi konflik di Gaza telah menimbulkan dampak kemanusiaan yang mengerikan. Data menunjukkan puluhan ribu warga Palestina telah kehilangan nyawa dan ratusan ribu lainnya mengalami luka-luka akibat serangan yang intensif. Serangan tidak hanya menargetkan infrastruktur militer, tetapi juga fasilitas sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat tinggal, yang mengakibatkan tingginya jumlah korban sipil, terutama perempuan dan anak-anak.
Tindakan-tindakan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang potensi pelanggaran hukum internasional, termasuk kemungkinan terjadinya kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan bahkan genosida. Prinsip-prinsip dasar hukum humaniter, seperti pembedaan antara kombatan dan warga sipil, proporsionalitas dalam penggunaan kekuatan, dan keharusan untuk melindungi penduduk sipil, tampaknya diabaikan dalam konflik ini.
Kegagalan Diplomasi Internasional
Upaya internasional untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel telah mengalami kegagalan berulang kali. Salah satu penyebab utama adalah ketidakseimbangan kekuatan dan pengaruh dalam proses mediasi. Beberapa negara, khususnya Amerika Serikat, seringkali dituduh memberikan dukungan yang tidak kritis kepada Israel, sehingga menghambat terciptanya solusi yang adil dan seimbang.
Inisiatif-inisiatif perdamaian yang diajukan selama ini, termasuk "Kesepakatan Abad Ini", seringkali dianggap bias dan tidak memenuhi aspirasi rakyat Palestina. Pendekatan sepihak dan upaya untuk memaksakan solusi yang tidak adil hanya memperburuk situasi dan memicu gelombang kekerasan yang baru.
Dewan Keamanan PBB, sebagai badan utama yang bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, seringkali tidak mampu bertindak efektif karena adanya hak veto yang dimiliki oleh negara-negara anggota tetap. Resolusi-resolusi yang bertujuan untuk mengutuk tindakan kekerasan atau memberikan perlindungan kepada warga sipil Palestina seringkali gagal disahkan.
Mencari Solusi yang Adil dan Berkelanjutan
Sejak Perang Dunia II, berbagai solusi telah diusulkan, namun belum ada yang berhasil diimplementasikan secara komprehensif. Secara garis besar, terdapat dua pendekatan utama: solusi dua negara dan solusi satu negara.
- Solusi Dua Negara: Menekankan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, berdampingan secara damai dengan Israel. Meskipun didukung oleh banyak negara, termasuk Indonesia, implementasinya terhambat oleh pembangunan permukiman Israel di wilayah pendudukan dan pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati.
- Solusi Satu Negara: Mengusulkan penggabungan Israel dan Palestina menjadi satu negara dengan hak yang sama bagi semua warga. Opsi ini memiliki beberapa variasi, termasuk negara dengan mayoritas Israel, negara dengan mayoritas Palestina, atau negara kesatuan yang menjamin kesetaraan hak bagi semua warga.
Saat ini, diperlukan pendekatan yang lebih kreatif dan fleksibel untuk mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak. Membatasi diri pada satu opsi solusi saja dapat menjadi kontraproduktif. Penting untuk terus menjajaki berbagai kemungkinan dan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses negosiasi.
Peran Indonesia dalam Mencari Perdamaian
Indonesia, dengan sejarah panjang dalam diplomasi moral dan kemanusiaan, memiliki peran strategis dalam memajukan solusi yang lebih substantif dan berkelanjutan bagi Palestina. Sebagai negara dengan posisi tawar yang kuat di Dewan Keamanan PBB dan di forum internasional lainnya, Indonesia dapat menggalang dukungan global untuk perdamaian dan keadilan di Palestina.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah membangun skema kekuatan moral, seperti Konferensi Asia Afrika (KAA) atau Gerakan Non-Blok (GNB) di masa lalu. Meskipun format dan narasi gerakan ini perlu disesuaikan dengan konteks saat ini, prinsip-prinsip dasar solidaritas, kemandirian, dan keadilan tetap relevan untuk memobilisasi dukungan internasional bagi Palestina.
Indonesia juga dapat memanfaatkan doktrin politik luar negeri bebas aktif sebagai landasan untuk menggalang kekuatan moral dunia. Doktrin ini menekankan kemerdekaan bangsa Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia berdasarkan keadilan. Dengan berpegang pada nilai-nilai ini, Indonesia dapat memainkan peran yang lebih aktif dan konstruktif dalam mencari solusi bagi konflik Palestina-Israel.
Janji kemerdekaan Palestina adalah hutang sejarah yang belum dilunasi. Dengan semangat solidaritas dan komitmen terhadap keadilan, Indonesia dapat berkontribusi dalam mewujudkan perdamaian yang abadi dan berkelanjutan di Tanah Suci.