Normalisasi Ciliwung: Program Pembebasan Lahan Picu Kekhawatiran Warga Pengadegan

Normalisasi Ciliwung: Program Pembebasan Lahan Picu Kekhawatiran Warga Pengadegan

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah menjalankan program normalisasi Sungai Ciliwung yang meliputi pembebasan lahan di sejumlah wilayah rawan banjir. Program yang menargetkan tiga wilayah utama, yakni Pengadegan, Cawang, dan Bidara Cina, ini telah memicu kekhawatiran di kalangan warga, khususnya terkait besaran kompensasi yang akan diterima. Pembebasan lahan ini mencakup total 634 bidang tanah dengan luas keseluruhan mencapai 12,908 hektar, rinciannya: 411 bidang di Cawang (58.946 m²), 162 bidang di Bidara Cina (57.035 m²), dan 61 bidang di Pengadegan (13.101 m²). Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menegaskan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan pembebasan lahan ini guna mempercepat proses normalisasi sungai dan mengurangi risiko banjir di masa mendatang.

Namun, di balik ambisi proyek normalisasi tersebut, muncul keresahan di tengah masyarakat. Warga Pengadegan, misalnya, mengungkapkan kekhawatiran mereka akan keadilan kompensasi. Faradilla (22), salah satu warga Pengadegan yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung, mengaku khawatir kompensasi yang diberikan tidak sesuai dengan nilai aset dan hak ahli waris. Keluarga Faradilla, yang terdiri dari tujuh ahli waris, hanya satu yang bertempat tinggal di lokasi yang akan terkena pembebasan lahan. Meskipun berharap program ini akan mengurangi risiko banjir yang kerap melanda permukiman mereka, Faradilla menekankan pentingnya kepastian kompensasi yang adil, terutama karena kondisi ekonomi keluarga dan kebutuhan pendidikan adiknya. Ia mengungkapkan adanya informasi yang belum terverifikasi dari pihak kelurahan terkait jumlah unit rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang akan diberikan kepada setiap ahli waris. Ketidakjelasan informasi ini semakin memperkuat kekhawatiran warga akan potensi kerugian yang lebih besar.

Sentimen serupa juga diutarakan oleh Sugeng (68), warga Pengadegan lainnya. Meskipun berat hati meninggalkan tempat tinggalnya yang sudah lama dihuni, Sugeng mengakui bahwa suaranya sebagai individu tidak akan mampu melawan keputusan mayoritas warga yang menyetujui pembebasan lahan. Ia berharap Pemprov DKI Jakarta dapat memberikan kompensasi yang memadai sehingga warga terdampak tidak mengalami kerugian finansial dan dapat menemukan tempat tinggal baru yang layak. Sugeng menambahkan, berdasarkan informasi yang didengarnya dalam rapat warga, dijanjikan sistem ganti untung yang menjamin warga tidak dirugikan secara materiil. Namun, janji tersebut masih perlu dibuktikan dengan transparansi dan keadilan dalam proses penetapan nilai kompensasi.

Kejadian ini menyoroti pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam proyek pembangunan berskala besar. Komunikasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat sangat krusial untuk memastikan bahwa program normalisasi sungai tidak hanya berhasil secara teknis, tetapi juga berkeadilan bagi warga yang terdampak. Pemprov DKI Jakarta perlu memastikan mekanisme kompensasi yang jelas, transparan, dan adil bagi seluruh warga yang terkena dampak program normalisasi Ciliwung, termasuk memastikan kepastian hak-hak ahli waris dan ketersediaan hunian yang layak sebagai pengganti tempat tinggal yang hilang. Hal ini akan sangat penting untuk membangun kepercayaan publik dan memastikan keberhasilan program normalisasi sungai tersebut.