Kejaksaan Agung Pertimbangkan Penambahan Personel TNI untuk Pengamanan, Tuai Kritik
Kejaksaan Agung Evaluasi Potensi Peningkatan Keamanan dengan Bantuan TNI
Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) membuka wacana penambahan personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk memperkuat sistem pengamanan di lingkungan kerjanya. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyampaikan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya antisipasi terhadap potensi gangguan keamanan, meskipun saat ini tingkat ancaman yang dirasakan masih tergolong rendah.
"Kami merasakan situasi yang biasa-biasa saja. Tugas dan fungsi kami berjalan sebagaimana mestinya. Potensi-potensi yang ada, bagi kami, adalah hal yang wajar," ujar Harli Siregar di Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Menurutnya, pengamanan yang dilakukan merupakan langkah preventif untuk menghindari kejadian yang tidak diharapkan. Penambahan personel ini masih dalam tahap pembahasan dan akan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing satuan kerja. Jumlah personel yang ditugaskan di setiap Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) akan bervariasi, tergantung pada tingkat risiko dan kebutuhan spesifik.
Kontroversi Pengerahan TNI dalam Pengamanan Kejaksaan
Keputusan Kejagung untuk melibatkan TNI dalam pengamanan kantor-kantor kejaksaan di seluruh Indonesia menuai kritik dari berbagai pihak. Indonesia Police Watch (IPW) menilai bahwa tindakan ini melanggar konstitusi, karena urusan keamanan seharusnya menjadi wewenang Polri, bukan TNI. Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menyatakan bahwa pengerahan TNI di institusi Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri bertentangan dengan UUD 1945 dan Tap MPR VII/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
TAP MPR VII/2000 secara jelas mengatur bahwa TNI adalah aparat pertahanan, bukan aparat keamanan. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat mengganggu keseimbangan hubungan antar lembaga negara, pembagian kekuasaan, konstitusi, dan mekanisme pemerintahan. IPW mendesak Presiden dan DPR untuk membahas serius pelanggaran UUD dan Tap MPR VII/2000 yang dilakukan oleh TNI dalam pengamanan di lingkungan kejaksaan.
Senada dengan IPW, Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, juga mendesak TNI untuk menarik mundur personel yang telah dikerahkan untuk pengamanan Kejaksaan. Ia menilai bahwa keterlibatan militer dalam pengamanan Kejaksaan bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya, seperti UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara, dan UU TNI.
Hendardi juga menyoroti potensi motif politik di balik kolaborasi antara Kejaksaan dan TNI, terutama terkait dengan pembahasan RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP serta penegakan hukum di lingkungan Kejaksaan. Ia mengingatkan bahwa Kejaksaan seharusnya memahami posisinya sebagai bagian dari sistem hukum pidana yang sepenuhnya sipil. Keterlibatan militer dalam sistem hukum pidana dianggap bertentangan dengan supremasi sipil dan supremasi hukum.
Kritik juga ditujukan pada keluarnya surat telegram tentang dukungan pengamanan, yang dinilai semakin memperkuat militerisme dalam kelembagaan penegakan hukum. Hendardi menekankan bahwa TNI hanya memiliki yurisdiksi penegakan hukum di lingkungan TNI saja, dengan tata perundang-undangan peradilan militer yang perlu diperbarui.
Berikut poin-poin penting yang menjadi sorotan:
- Wacana penambahan personel TNI untuk pengamanan Kejaksaan
- Kritik terhadap pengerahan TNI yang dianggap melanggar konstitusi
- Potensi motif politik di balik kolaborasi Kejaksaan dan TNI
- Penguatan militerisme dalam penegakan hukum