AFPI Ungkap Alasan Penetapan Bunga Pinjaman Online Awal dan Bantah Adanya Kartel
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memberikan klarifikasi terkait penetapan awal bunga pinjaman online sebesar 0,8% yang terjadi pada tahun 2018. Penjelasan ini sekaligus menjadi bantahan atas tuduhan adanya praktik kartel yang dilakukan oleh para pelaku usaha pinjaman online (pinjol) yang tergabung dalam asosiasi, khususnya dalam rentang waktu 2020 hingga 2023.
Menurut Sunu Widyatmoko, yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal AFPI periode 2018-2023, penetapan bunga pinjaman tersebut sebenarnya bertujuan untuk membedakan secara jelas antara penyelenggara pinjaman online yang legal dan praktik pinjaman online ilegal yang merugikan masyarakat. Lebih lanjut, Sunu mengungkapkan bahwa inisiatif penetapan bunga ini justru datang dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator.
Sunu menjelaskan bahwa bunga pinjaman yang ditetapkan oleh AFPI kepada para anggotanya bukanlah harga mati, melainkan batas maksimum yang diperbolehkan, yaitu 0,8%. Dengan kata lain, setiap pelaku usaha pinjol memiliki kebebasan untuk menetapkan bunga pinjaman di bawah angka tersebut, asalkan tidak melebihi batas yang telah ditentukan.
"Saat itu, OJK merasa perlu ada tindakan yang lebih tegas daripada sekadar kode etik. OJK berpandangan bahwa masyarakat harus benar-benar bisa membedakan mana penyelenggara pinjaman online yang legal dan mana yang ilegal, bukan hanya berdasarkan nama platform atau daftar di OJK, tetapi dari aspek hubungan pinjaman yang diterapkan," ujar Sunu di Jakarta, Rabu (14/5/2025).
"Oleh karena itu, mereka meminta AFPI untuk menetapkan berapa bunga maksimum yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota," lanjutnya.
Seiring dengan perkembangan industri fintech, AFPI kembali menurunkan batas bunga pinjaman online dari 0,8% menjadi 0,4% pada tahun 2021. Sunu menjelaskan bahwa penurunan ini juga merupakan arahan dari OJK, yang menilai bahwa bunga 0,8% masih terlalu dekat dengan bunga yang dikenakan oleh pinjaman online ilegal.
"Kami diminta untuk menurunkan bunga, karena OJK melihat bahwa efek dari 0,8% ini masih kurang signifikan dalam membedakan pinjol legal dan ilegal. Oleh karena itu, solusinya adalah menurunkan lagi menjadi 0,4%," jelasnya.
Sunu menambahkan bahwa langkah OJK untuk meminta AFPI menetapkan bunga pinjaman didasari oleh belum adanya landasan hukum yang kuat bagi OJK untuk mengatur hal tersebut secara langsung pada saat itu.
"Jadi, itulah latar belakangnya. Inisiatif ini muncul dari AFPI atas permintaan OJK, karena pada saat itu OJK belum memiliki dasar hukum yang memadai untuk mengatur bunga pinjaman," terangnya.
Lebih lanjut, Sunu menjelaskan bahwa setelah Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UUP2SK) disahkan dan OJK menerbitkan SEOJK No. 19 Tahun 2023 yang secara eksplisit mengatur bunga pinjaman fintech sebesar 0,3%, AFPI segera mencabut batas bunga maksimum yang sebelumnya ditetapkan dan sepenuhnya mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh regulator.