Tuberkulosis: Ancaman Nyata di Balik Angka Kematian yang Mengkhawatirkan

Tuberkulosis (TB) masih menjadi momok menakutkan di dunia kesehatan global. Penyakit menular ini bukan hanya sekadar infeksi paru-paru, melainkan ancaman serius yang dapat merenggut nyawa. Data terbaru menunjukkan bahwa TB menduduki peringkat pertama sebagai penyakit menular paling mematikan di dunia, sebuah fakta yang seharusnya menjadi perhatian serius bagi semua pihak.

Di Indonesia, dampak TB sangat terasa. Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K), seorang Dokter Spesialis Paru, mengungkapkan bahwa setiap tahunnya, TB menyebabkan kematian sekitar 125.000 hingga 130.000 jiwa di tanah air. Dengan lebih dari satu juta kasus yang tercatat setiap tahun, angka kematian ini setara dengan 15 orang meninggal setiap jam akibat TB. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari kurangnya kesadaran, diagnosis yang terlambat, dan pengobatan yang tidak optimal.

Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2023 memperkuat gambaran suram ini. Meskipun kasus TB global relatif stabil di angka 10 juta, terjadi peningkatan menjadi 10,8 juta kasus pada tahun 2023 dari 10,7 juta pada tahun 2022. Yang lebih mengkhawatirkan, angka kematian akibat TB mencapai 1,25 juta jiwa di seluruh dunia. India menjadi negara dengan kontribusi kematian tertinggi (26%), diikuti oleh Indonesia (10%), China (6,8%), Filipina (6,8%), dan Pakistan (6,3%).

Mengapa Tuberkulosis Mematikan?

TB disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang umumnya menyerang paru-paru. Namun, penyakit ini dapat menyebar ke organ lain dan menyebabkan komplikasi serius yang berujung pada kematian. Beberapa faktor yang meningkatkan risiko kematian akibat TB meliputi:

  • Usia: Kelompok usia yang rentan adalah lansia, anak-anak, dan bayi.
  • Penundaan pengobatan: Semakin lama pengobatan ditunda, semakin besar risiko komplikasi dan kematian.
  • Penggunaan ventilator mekanik: Pasien TB yang membutuhkan bantuan ventilator memiliki prognosis yang lebih buruk.
  • Penyebaran infeksi: Jika infeksi TB menyebar dari paru-paru ke organ lain, risiko kematian meningkat.
  • Imunosupresi: Kondisi yang melemahkan sistem kekebalan tubuh, seperti HIV atau penggunaan obat imunosupresan jangka panjang, membuat seseorang lebih rentan terhadap TB dan komplikasinya.

Selain itu, resistensi obat menjadi masalah serius dalam penanganan TB. Ketika bakteri TB kebal terhadap obat-obatan yang seharusnya membunuhnya, pengobatan menjadi lebih sulit dan risiko kematian meningkat.

Dampak dan Komplikasi Tuberkulosis

TB tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi juga dapat menyebar ke organ lain, menyebabkan tuberkulosis milier. Kondisi ini dapat mempengaruhi tulang belakang, otak, ginjal, dan organ lainnya. Komplikasi yang mungkin timbul akibat TB milier antara lain:

  • Meningitis: Peradangan pada lapisan otak.
  • Pott’s disease: TB tulang atau spondilitis tuberkulosis.
  • Addison’s disease: Gangguan pada kelenjar adrenal.
  • Hepatitis: Radang hati.
  • Skrofula: Pembengkakan kelenjar getah bening di leher.

TB yang tidak diobati atau tidak diobati dengan benar dapat menyebabkan komplikasi fatal lainnya, seperti:

  • Kerusakan paru-paru yang meluas
  • Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS): Penumpukan cairan di paru-paru yang menghambat pertukaran oksigen.
  • Empiema: Penumpukan nanah di ruang antara paru-paru dan membran di sekitarnya.
  • Amiloidosis sistemik: Penumpukan protein amiloid di dalam organ yang mengganggu fungsinya.
  • Sindrom Horner: Kerusakan pada ganglia simpatis servikal yang memengaruhi saraf wajah dan kepala.
  • Pneumothorax: Paru-paru kolaps akibat kebocoran udara.

Sebuah studi oleh Ellis H. Tobin dan Debbie Tristram (2024) menunjukkan bahwa risiko kematian akibat TB yang tidak diobati dapat mencapai lebih dari 50 persen. Fakta ini menegaskan pentingnya deteksi dini, pengobatan yang tepat, dan kepatuhan pasien terhadap terapi TB untuk mencegah kematian dan mengurangi beban penyakit ini.