Pedagang Sukalila Selatan Cirebon Pertahankan Identitas Lokal di Tengah Rencana Relokasi

Rencana relokasi pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Jalan Sukalila Selatan, Kota Cirebon, memicu gelombang penolakan dari sebagian pedagang. Bagi mereka, keberadaan lapak bukan sekadar mata pencaharian, melainkan bagian tak terpisahkan dari identitas kota dan daya tarik pariwisata Cirebon.

Penolakan ini muncul seiring program normalisasi Sungai Sukalila yang digagas Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon. Para pedagang menyayangkan kurangnya dialog dan kolaborasi dengan pemerintah terkait rencana tersebut. Mereka merasa kontribusi kawasan Sukalila Selatan terhadap citra dan perekonomian lokal selama ini terabaikan.

Dedi Supriyadi, seorang pedagang pigura, mengungkapkan harapannya agar pemerintah membuka diri terhadap solusi yang konstruktif, bukan sekadar menggusur. "Kami berharap ada solusi positif, terutama kerja sama dengan pemerintah," ujarnya. Dedi menekankan bahwa lapak-lapak seni di Sukalila Selatan telah menjadi magnet bagi wisatawan, khususnya mereka yang mencari lukisan, kaligrafi, dan pigura khas Cirebon. "Lapak dagangan kami ini aset untuk pariwisata. Sudah menjadi ikon bagi masyarakat Cirebon yang mencari produk seni," imbuhnya.

Terinspirasi dari penataan kawasan Malioboro di Yogyakarta, Dedi meyakini bahwa PKL dapat dikelola dengan baik tanpa harus direlokasi. "Kenapa di Cirebon tidak bisa seperti itu? Tinggal dikelola dan ditata kerjasamanya. Kami tetap menolak relokasi dan menginginkan solusi terbaik," tegasnya.

Ketua Paguyuban PKL Sukalila Selatan, Budi Frame, menyampaikan sikap serupa. Ia menegaskan bahwa para pedagang tidak menentang pengerukan sungai, namun menolak penataan yang dilakukan sepihak dan tanpa musyawarah. "Kami merespons kebijakan pemerintah, tapi relokasi? Tunggu dulu," ujarnya.

Budi menyoroti ketidakadilan dalam pelaksanaan kebijakan. Ia menunjuk kawasan lain seperti Pasar Mambo dan Kalibaru yang belum tersentuh penertiban, padahal sama-sama membutuhkan penataan. "Kalau mau ditertibkan, bersihkan semua. Jangan hanya Sukalila Selatan saja. Ini menimbulkan rasa keberatan," ungkapnya.

Para pedagang tidak menuntut kompensasi, melainkan perlakuan adil dan kesempatan bermitra dengan pemerintah dalam menata kawasan. "Jika Pasar Mambo dan Kalibaru ada izin, kami juga menginginkan hal yang sama. Kami siap bekerja sama jika ditata dan diberi izin," tutur Budi.

"Namun, jika direlokasi ke tempat lain, belum tentu kami bisa bertahan. Jiwa seni seperti kami, seni kaligrafi, harus terlihat dari jalan, bukan di dalam gedung," tambahnya.

Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, menjelaskan bahwa relokasi adalah bagian dari rencana penataan kota dan normalisasi Sungai Sukalila. Pemkot telah menyiapkan tempat relokasi di shelter Gunungsari dan Pasar Balong. "Soal PKL di Sungai Sukalila, itu harus dibersihkan karena merupakan sepadan sungai dan kewenangan BBWS," ucap Edo. Ia menambahkan bahwa proses relokasi akan dilakukan melalui sosialisasi. Kawasan bantaran sungai akan diubah menjadi ruang terbuka hijau berupa taman lansia, dan penataan diharapkan selesai pada akhir tahun ini.

Berikut adalah poin-poin utama dari permasalahan ini:

  • Penolakan relokasi oleh sebagian PKL Sukalila Selatan.
  • PKL menganggap lapak mereka sebagai ikon kota dan bagian dari pariwisata.
  • Pemkot Cirebon berencana menormalisasi Sungai Sukalila dan merelokasi PKL.
  • PKL menuntut dialog dan solusi yang saling menguntungkan.
  • PKL mencontohkan penataan kawasan Malioboro sebagai model.
  • PKL menyoroti ketidakadilan dalam penertiban kawasan lain.
  • Pemkot Cirebon menyiapkan tempat relokasi dan akan melakukan sosialisasi.

Diharapkan solusi yang adil dan berkelanjutan dapat ditemukan untuk menyeimbangkan kepentingan PKL dan program penataan kota.