Aksi Anarkis Razia Warung di Garut: Kecaman Menggema, Penegak Hukum Bergerak
Aksi Anarkis Razia Warung di Garut: Kecaman Menggema, Penegak Hukum Bergerak
Sebuah insiden sweeping warung makan di Garut, Jawa Barat, pada Rabu, 5 Maret 2025, telah memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak. Aksi yang dilakukan oleh sekelompok individu ini ditandai dengan perilaku anarkis, termasuk pengrusakan properti dan intimidasi terhadap pengunjung warung yang tengah menikmati hidangan. Video yang beredar luas di media sosial memperlihatkan sejumlah pria, salah satunya mengenakan peci, secara paksa mengambil dan membuang minuman seorang pengunjung, disertai dengan teriakan dan tindakan intimidasi lainnya. Kejadian ini tidak hanya melanggar norma kesopanan dan ketertiban umum, tetapi juga menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Kehadiran anggota Satpol PP di lokasi kejadian, meskipun berupaya melerai situasi, justru semakin memperumit persepsi publik terkait pengawasan dan penegakan aturan selama bulan Ramadan.
Kepala Satpol PP Garut, Basuki Eko, menjelaskan bahwa insiden tersebut terjadi saat petugasnya tengah melakukan sosialisasi Maklumat Ramadan terkait jam operasional warung makan. Ia membantah keterlibatan langsung anggotanya dalam aksi anarkis tersebut, menyatakan bahwa mereka tiba di lokasi setelah kejadian bermula dan bertujuan untuk meredakan situasi. Pernyataan ini, bagaimanapun, tidak sepenuhnya meredam kritik publik yang mempertanyakan efektivitas pengawasan dan respon cepat aparat dalam mencegah tindakan main hakim sendiri. Maklumat Ramadan yang dikeluarkan oleh Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut pada 1 Maret 2025, mengatur sejumlah hal, termasuk pembatasan operasional restoran dan warung makan pada siang hari selama bulan Ramadan, dengan pengecualian layanan take away mulai pukul 16.00 WIB. Namun, maklumat ini jelas tidak membenarkan tindakan kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh sekelompok oknum.
Berikut poin-poin penting dalam Maklumat Ramadan tersebut:
- Larangan menyalakan petasan.
- Pembatasan konvoi dan balapan liar, khususnya Sahur On The Road (OTR).
- Pelarangan praktik penyakit masyarakat (premanisme, prostitusi, penjualan minuman keras, perjudian, narkotika).
- Penutupan tempat hiburan malam.
- Larangan penjualan produk kontrasepsi secara bebas.
- Pembatasan operasional restoran/warung (wajib tutup siang hari, kecuali take away pukul 16.00 WIB).
Bupati Garut, Abdusy Syakur Amin, turut menyesalkan kejadian tersebut dan mengecam tindakan anarkis yang dilakukan oleh sekelompok orang. Ia menekankan pentingnya saling menghargai dan meminta masyarakat untuk tidak main hakim sendiri, seraya menambahkan bahwa perwakilan dari kelompok tersebut telah dimintai keterangan dan diminta untuk menyampaikan permohonan maaf. Kapolres Garut, AKBP M Fajar Gemilang, menyatakan bahwa kepolisian telah memeriksa sejumlah saksi dan pihak yang diduga terlibat, termasuk ormas dan Satpol PP, dan tengah mendalami kasus ini untuk menentukan adanya unsur pidana.
Reaksi keras juga datang dari berbagai kalangan, termasuk PBNU dan Muhammadiyah. Sekjen PBNU, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), mengecam tindakan tersebut sebagai bentuk intoleransi dan menekankan bahwa hanya aparat berwenang yang berhak menegakkan aturan. Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, menambahkan bahwa nasihat dan teguran seharusnya disampaikan dengan cara yang santun dan tidak menggunakan kekerasan. Kedua organisasi Islam tersebut turut menyoroti pentingnya toleransi terhadap mereka yang tidak berpuasa, termasuk umat muslim yang memiliki kondisi tertentu seperti haid atau musafir.
Kejadian ini menjadi pengingat penting akan perlunya penegakan hukum yang tegas dan konsisten, serta pentingnya edukasi dan pemahaman publik tentang toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan dalam keberagaman masyarakat Indonesia. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak agar ke depan dapat tercipta suasana Ramadan yang damai, harmonis, dan penuh dengan nilai-nilai keagamaan yang sesungguhnya.