PSI Buka Pintu Lebar untuk Jokowi: Dari Kader PDIP yang Dipecat Hingga Potensi Nakhoda Baru

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memberikan sinyal positif terkait kemungkinan Joko Widodo (Jokowi), mantan Presiden Republik Indonesia, untuk bergabung dan bahkan mencalonkan diri sebagai ketua umum partai. Wakil Ketua Umum PSI, Andy Budiman, menyatakan bahwa partainya sangat terbuka dan menyambut baik potensi tersebut.

"Apakah Pak Jokowi akan menjadi calon? Kita doakan," ungkap Andy dalam konferensi pers di Kantor DPP PSI, Jakarta, Selasa (13/5/2025), mengisyaratkan antusiasme PSI terhadap figur yang pernah memimpin Indonesia selama dua periode.

Andy menjelaskan bahwa PSI membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun yang memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon ketua umum. Syarat utama yang harus dipenuhi adalah status sebagai kader dan kepemilikan Kartu Tanda Anggota (KTA) PSI. Meskipun demikian, masa keanggotaan bukanlah faktor penentu.

"Calon ini yang paling penting dia harus memegang kartu tanda anggota PSI. Jadi yang paling penting itu. Mengenai berapa lama, itu tidak menjadi masalah. Yang paling penting dia punya visi dan misi yang sama dengan PSI, dan itu ditunjukkan dengan kesediaan menjadi anggota PSI," jelas Andy, menekankan pentingnya keselarasan ideologi dan komitmen terhadap nilai-nilai yang diusung PSI.

Jejak politik Jokowi sendiri mengalami perubahan signifikan. Setelah dipecat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada Desember 2024, Jokowi saat ini tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun. Lalu bagaimana perjalanan politik Jokowi hingga sampai pada titik ini?

Perjalanan Politik Jokowi: Dari Solo Hingga Istana

Jokowi, lahir pada 21 Juni 1961, memulai karier politiknya dengan bergabung dengan PDI-P pada tahun 2004. Setahun kemudian, PDI-P mengusungnya sebagai calon wali kota Solo, berpasangan dengan Fx Hadi Rudyatmo. Meskipun hanya didukung oleh PDI-P, pasangan Jokowi-Rudy berhasil memenangkan Pilkada Solo, mengalahkan tiga pasangan calon lainnya. Selama menjabat sebagai wali kota Solo (2005-2010), Jokowi dikenal luas melalui gaya kepemimpinannya yang merakyat, dengan kegiatan blusukan ke pasar, jalanan, dan perkampungan.

Popularitas Jokowi terus meningkat, dan pada tahun 2010 ia kembali diusung sebagai calon wali kota Solo, kembali berpasangan dengan Fx Rudy dan kembali memenangkan pemilihan.

Pada tahun 2012, Jokowi ditugaskan oleh PDI-P untuk maju dalam pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta, berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Mereka berhasil memenangkan Pilgub DKI Jakarta, mengalahkan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Gaya blusukan Jokowi terus menjadi ciri khasnya selama menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta.

Hanya dua tahun menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, Jokowi maju ke pemilihan presiden (Pilpres) 2014. PDI-P bersama PKB, Nasdem, dan Hanura membentuk koalisi untuk mengusung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Mereka berhadapan dengan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang diusung oleh Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan PBB. Jokowi-JK memenangkan Pilpres 2014.

Pada Pilpres 2019, Jokowi kembali diusung oleh PDI-P, kali ini berpasangan dengan Ma’ruf Amin. Koalisi yang mendukung Jokowi-Ma’ruf terdiri dari PDI-P, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, Hanura, PKPI, Perindo, PSI, dan PBB. Jokowi-Ma’ruf memenangkan Pilpres 2019 dengan 55,5 persen suara, mengalahkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang diusung oleh Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan Berkarya.

Perpecahan dengan PDI-P dan Pemecatan

Hubungan antara Jokowi dan PDI-P mulai mengalami keretakan selama periode kepresidenan 2019-2024. Puncaknya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia capres-cawapres, memungkinkan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju dalam Pilpres 2024.

Prabowo Subianto kemudian menggandeng Gibran sebagai calon wakil presiden, didukung oleh Koalisi Indonesia Maju. Putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, yang juga Ketua Umum PSI, serta menantu Jokowi, Bobby Nasution, juga menyatakan dukungan kepada Prabowo-Gibran.

Di sisi lain, PDI-P bersama PPP, Perindo, dan Hanura mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Namun, Prabowo-Gibran memenangkan Pilpres 2024 dengan perolehan suara di atas 58 persen, sementara pasangan yang diusung PDI-P berada di posisi terakhir dengan perolehan suara sekitar 16 persen.

Dua bulan setelah pelantikan Prabowo-Gibran, PDI-P secara resmi memecat Jokowi dari keanggotaan partai. Pemecatan ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 1649/KPTS/DPP/XII/2024 yang ditandatangani oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto. Alasan pemecatan adalah dukungan Jokowi terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden dari partai politik lain (Prabowo-Gibran), yang dianggap melanggar keputusan DPP PDI-P.

Ketua DPP Bidang Kehormatan PDI-P, Komarudin Watubun, menyatakan bahwa tindakan Jokowi melanggar AD/ART Partai Tahun 2019 serta Kode Etik dan Disiplin Partai. Jokowi juga dituduh menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengintervensi MK, yang dianggap mencederai sistem demokrasi, hukum, dan moral-etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Setelah pemecatan tersebut, Jokowi belum bergabung dengan partai politik lain. Meskipun demikian, setelah tidak lagi menjabat sebagai presiden, Jokowi sempat memberikan komentar tentang PSI dan harapannya akan adanya "Partai Super Terbuka (Tbk)", mengisyaratkan ketertarikannya pada partai yang inklusif dan progresif.