RUU Perampasan Aset: Perebutan Kewenangan Penyimpanan Aset Rampasan Hambat Pengesahan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menjadi sorotan publik setelah sekian lama terkatung-katung. Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengungkapkan bahwa salah satu faktor utama yang menghambat pengesahan RUU ini adalah perebutan kewenangan terkait penyimpanan aset hasil rampasan.
Menurut Mahfud, persaingan antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), dan Kejaksaan Agung RI untuk menjadi pihak yang berwenang menyimpan aset rampasan menjadi batu sandungan utama dalam pembahasan RUU tersebut. Masing-masing instansi memiliki unit kerja yang relevan, seperti Direktorat Jenderal Kekayaan Negara di Kemenkeu, Rumah Barang Rampasan (Rubasan) di Kemenkumham, dan unit penyimpanan aset sitaan di Kejaksaan Agung. Perebutan ini, menurut Mahfud, telah terjadi sejak tahun 2018, sebelum kabinet periode kedua Presiden Joko Widodo. Saat itu, draf RUU sebenarnya sudah disepakati oleh pemerintah dan DPR, namun terhenti karena masalah penyimpanan aset. Mahfud menyampaikan hal ini dalam program Gaspol! Kompas.com.
Pada tahun 2019, Presiden Jokowi menugaskan Mahfud, yang saat itu menjabat sebagai Menko Polhukam, untuk melanjutkan pembahasan RUU Perampasan Aset bersama dengan RUU Pembatasan Uang Kartal. Mahfud kemudian melakukan pertemuan dengan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Supratman Andi Agtas, untuk membahas kelanjutan kedua RUU tersebut. Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa pemerintah akan mengusulkan RUU Perampasan Aset, sementara inisiatif RUU Pembatasan Uang Kartal akan diambil oleh DPR. Mahfud juga menambahkan bahwa materi RUU tersebut akan ditambah dengan undang-undang tentang pendanaan partai politik.
Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungannya terhadap RUU Perampasan Aset pada peringatan Hari Buruh tanggal 1 Mei 2025. Prabowo mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk buruh, untuk bersama-sama memberantas korupsi di Indonesia. RUU Perampasan Aset sendiri telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029 dan menempati urutan kelima dari 40 usulan RUU yang diajukan oleh pemerintah.
Sejarah panjang RUU Perampasan Aset menunjukkan betapa kompleksnya proses legislasi di Indonesia. Usulan RUU ini sebenarnya telah bergulir sejak tahun 2008, ketika Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mulai mengkaji kebutuhan akan undang-undang terkait perampasan aset hasil tindak pidana. Setelah melalui berbagai kajian, RUU ini secara resmi diajukan ke DPR pada tahun 2012. Namun, pembahasan RUU ini tidak berjalan mulus dan mengalami berbagai penundaan akibat kendala politik dan hukum.
Pada tanggal 4 Mei 2023, pemerintah kembali mengirimkan surat presiden terkait RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ke DPR RI. Sayangnya, hingga rapat paripurna terakhir DPR RI periode 2019-2024 pada tanggal 30 September 2024, pembahasan RUU tersebut belum juga dilakukan. Dengan dukungan yang kini diberikan oleh Presiden Prabowo dan masuknya RUU ini ke dalam Prolegnas prioritas, diharapkan RUU Perampasan Aset dapat segera disahkan dan menjadi instrumen hukum yang efektif dalam memberantas korupsi dan memulihkan aset negara.