Menara Air Bangkalan: Simbol Penjajahan dan Pengingat Sejarah Hasil Bumi Madura
Di jantung kota Bangkalan, Jawa Timur, berdiri kokoh sebuah menara air setinggi 25 meter, bukan sekadar infrastruktur, melainkan saksi bisu bisu dari sejarah kelam penjajahan Belanda dan eksploitasi hasil bumi Madura.
Dibangun pada tahun 1927, pada masa Keresidenan Madura Barat di bawah kepemimpinan Residen Johannes Gerardus Van Heijst, menara ini awalnya dirancang untuk menampung air bersih dari Sumber Potjong di Desa Benangkah, Kecamatan Burneh. Tujuannya adalah untuk menyediakan air bersih bagi masyarakat Bangkalan. Namun, kenyataan pahitnya, air dari menara ini hanya dinikmati oleh kalangan elit Belanda, pejabat kolonial, dan keraton setempat. Rakyat jelata tidak mendapatkan akses ke sumber air bersih tersebut.
Sejarawan Bangkalan, Hidrochin Sabarudin, mengungkapkan bahwa selain berfungsi sebagai tempat penampungan air, menara ini juga dilengkapi dengan sirene yang berbunyi setiap petang menjelang waktu maghrib. Bunyi sirene menjadi tanda bagi masyarakat untuk segera masuk ke rumah masing-masing. Saat itulah, pasukan Belanda dengan leluasa mengangkut hasil bumi Madura, terutama jagung, menuju pelabuhan untuk dikirim ke luar daerah.
Ironisnya, di tengah kekayaan hasil pertanian Madura, masyarakatnya justru tidak dapat menikmati hasil jerih payah mereka. Menara air ini menjadi simbol ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh penjajah.
Kendati menara air ini sudah tidak lagi berfungsi sejak tahun 1990 akibat kemiringan struktur bangunan, pemerintah daerah tetap mengalirkan air dari Sumber Potjong untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Bangkalan. Lokasi menara sendiri kini dimanfaatkan sebagai kantor Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Sumber Sejahtera.
Menurut Kepala Operasional Teknik PDAM Sumber Sejahtera, Imam Syafi'i, menara air ini belum pernah mengalami renovasi besar sejak dibangun. Perawatan hanya sebatas pengecatan ulang untuk menjaga keutuhan bangunan cagar budaya ini. Namun, sirene peninggalan Belanda tetap difungsikan hingga saat ini, terutama selama bulan Ramadhan sebagai pengingat waktu berbuka puasa dan imsak.
Meski radius suaranya tidak sekuat dulu, sirene ini tetap menjadi bagian dari sejarah dan tradisi masyarakat Bangkalan. Menara air Bangkalan bukan hanya sekadar bangunan tua, melainkan monumen yang mengingatkan kita akan masa lalu yang penuh perjuangan dan pengorbanan. Ia menjadi pengingat agar kita tidak melupakan sejarah dan terus berjuang untuk keadilan dan kesejahteraan.