Peran Krusial Ayah dalam Kesehatan Mental Anak: Perspektif Psikologi Universitas Brawijaya

Keluarga, terutama peran orang tua, menjadi fondasi utama dalam membentuk kesehatan mental anak. Ziadatul Hikmiah, seorang pakar psikologi dari Universitas Brawijaya (UB), menekankan pentingnya kesiapan orang tua secara pribadi sebelum memutuskan memiliki anak. Landasan ini krusial karena lingkungan terdekat, yaitu keluarga, akan sangat memengaruhi tumbuh kembang anak.

Merujuk pada teori Urie Bronfenbrenner, keluarga merupakan institusi pertama yang dikenal anak, sehingga menjadi penopang utama dalam memberikan penguatan dasar. Penguatan ini meliputi prinsip-prinsip dasar, kepercayaan, nilai spiritual, serta pembentukan jati diri. Ketahanan keluarga menjadi kunci agar anak tidak mudah terombang-ambing oleh tekanan dari lingkungan luar atau peer pressure. Pendidikan nilai dan norma yang kuat di lingkungan keluarga akan membekali anak dengan kompas moral yang jelas.

Dalam konteks keluarga inti, yang terdiri dari ibu, ayah, dan anak, pengasuhan yang ideal melibatkan peran aktif dari kedua orang tua. Perspektif psikologi perkembangan menekankan bahwa ayah tidak hanya berperan sebagai pencari nafkah, tetapi juga memiliki kontribusi signifikan terhadap perkembangan mental anak. Kehadiran ayah secara proporsional, terutama dalam meningkatkan self-esteem atau harga diri anak, sangat penting. Ketika anak memiliki self-esteem yang tinggi, ia akan merasa lebih percaya diri, termotivasi, dan mampu menjaga kesehatan mentalnya dengan baik.

Indonesia, sayangnya, masih menghadapi stigma fatherless country, di mana peran ayah seringkali minim dalam pengasuhan anak. Padahal, teori Father Involvement dari Finley menekankan dua indikator penting yang harus dipenuhi seorang ayah, yaitu kuantitas dan kualitas. Kuantitas merujuk pada pemenuhan kebutuhan material anak, sementara kualitas berkaitan dengan keterlibatan langsung ayah dalam kehidupan anak. Keterlibatan ini tidak hanya sebatas memberikan nafkah, tetapi juga menunjukkan afeksi secara nyata. Tindakan sederhana seperti menanyakan kabar atau perasaan anak sehari-hari dapat memperkuat ikatan emosional antara ayah dan anak.

Hubungan yang harmonis antara ibu, ayah, dan anak akan menciptakan lingkungan yang saling menguatkan. Ziadatul Hikmiah juga mengingatkan pentingnya membatasi paparan media sosial pada anak. Konten media sosial yang tidak selaras dengan nilai-nilai positif dapat mengaburkan jati diri anak dan memicu masalah kesehatan mental. Oleh karena itu, orang tua perlu berperan aktif dalam mendampingi anak dalam menggunakan media sosial dan memberikan pemahaman yang benar mengenai nilai-nilai yang penting.

Ketika anak memasuki lingkungan sosial yang lebih luas, seperti sekolah, institusi pendidikan juga memegang peranan penting. Guru diharapkan dapat berinovasi dalam pendekatan mereka untuk membangun mental anak. Pemberian label negatif kepada anak, seperti label "nakal," sebaiknya dihindari. Seringkali, perilaku yang dianggap nakal merupakan manifestasi dari masalah kesehatan mental yang belum terdiagnosis. Memberikan label hanya akan merugikan anak dan menghambat proses diagnosis serta penanganan yang tepat.

Ziadatul Hikmiah menekankan bahwa dalam dunia psikologi, diagnosis dan pemberian label harus dilakukan dengan sangat hati-hati, meskipun tanda-tanda masalah mungkin sudah terlihat jelas. Selain itu, ia juga menyerukan kepada pemerintah untuk turut berperan aktif dalam meningkatkan kesehatan mental anak. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan praktisi di bidang kesehatan mental diperlukan untuk menciptakan kebijakan yang berbasis bukti dan teori yang kuat. Kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi akan lebih efektif dalam meningkatkan kesehatan mental anak secara nasional.