Gencatan Senjata Dagang AS-China: Momentum Pemulihan Rupiah dan Tantangan Daya Saing Ekspor

Gencatan Senjata Dagang AS-China: Momentum Pemulihan Rupiah dan Tantangan Daya Saing Ekspor

Relaksasi ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dan China membawa harapan baru bagi stabilitas ekonomi global, namun juga menghadirkan serangkaian peluang dan tantangan bagi Indonesia.

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa salah satu dampak positifnya adalah potensi pemulihan harga komoditas ekspor unggulan Indonesia. Peningkatan permintaan dari industri China diharapkan dapat mendorong kinerja ekspor secara keseluruhan. Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi tertahan, mengurangi tekanan imported inflation. Intervensi terhadap rupiah juga dapat berkurang, dan harga emas sebagai aset safe haven diperkirakan menurun seiring meredanya persepsi risiko geopolitik dan resesi global.

Namun, Bhima mengingatkan bahwa tarif impor China yang lebih rendah dibandingkan Indonesia ke pasar AS dapat menggerus daya saing ekspor Indonesia. Sektor-sektor seperti tekstil, alas kaki, dan pakaian jadi berpotensi tertekan oleh dominasi produk China. Indonesia, menurutnya, mungkin hanya diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi. Dampak terhadap potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya akan bergantung pada seberapa besar selisih tarif yang dibebankan kepada kedua negara. Jika tarif ekspor China ke AS jauh lebih rendah, ada risiko relokasi industri dari Indonesia ke China.

Bhima juga menyoroti bahwa investasi dari AS dan Eropa cenderung lebih deras mengalir ke China dibandingkan negara alternatif lain, termasuk Indonesia. Realisasi investasi di Indonesia mengalami tekanan setelah PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto) pada kuartal I 2025 mencatat kontraksi sebesar -7,4% (q to q) dibandingkan kuartal sebelumnya.

Untuk mengatasi tantangan ini, Bhima menyarankan agar Indonesia lebih proaktif melobi AS, memanfaatkan momentum pembaruan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Freeport dan relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga. Selain itu, isu Laut China Selatan dapat dimasukkan ke dalam agenda negosiasi untuk menekan AS agar memberikan tarif yang lebih rendah kepada Indonesia dibandingkan China. Kekhawatiran saat ini adalah tarif Indonesia tetap lebih tinggi dari China yang sebesar 30%. Selain itu, kewaspadaan terhadap masuknya barang impor dari China, Vietnam, dan Kamboja selama masa jeda negosiasi perlu ditingkatkan. Pemicu PHK di sektor padat karya Indonesia lebih mungkin disebabkan oleh persaingan dengan barang impor daripada kesulitan ekspor ke pasar AS.

Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menyatakan bahwa meskipun pasar merasakan sedikit ketenangan akibat "gencatan senjata" selama 90 hari, investor tetap berhati-hati. Pasar masih mencermati potensi penerapan kembali biaya impor setelah periode tersebut, yaitu 30% untuk impor China ke AS dan 10% untuk impor AS ke China, yang mengindikasikan bahwa perang dagang belum sepenuhnya usai.

Saat ini, harga komoditas emas dunia menunjukkan sedikit penurunan, didorong oleh "gencatan senjata" sementara dan meredanya ketegangan geopolitik antara Israel dan Palestina. Bahkan, ada kemungkinan AS akan mengakui Palestina sebagai negara berdaulat dalam pertemuan di Arab Saudi. Kondisi ini meredakan kegaduhan geopolitik dan perang dagang, sehingga menekan harga emas. Selain itu, kebijakan bank sentral AS diperkirakan akan membahas potensi penurunan suku bunga pada bulan Juli.

Penurunan harga emas dunia juga diikuti oleh potensi penguatan nilai dolar terhadap mata uang negara lain. Namun, Ibrahim meyakini bahwa penurunan harga emas tidak akan berlangsung lama, mengingat konflik Rusia-Ukraina masih terus berlanjut.

Ibrahim memperkirakan bahwa nilai tukar rupiah akan bertahan di kisaran Rp 16.500. Harga emas dunia, meskipun terkoreksi, berpotensi kembali menguat dan belum mencapai target US$ 3.180 per troy ons.