AS dan China Capai Kesepakatan Tarif: Peluang Baru bagi Indonesia?
Washington D.C. – Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok baru-baru ini mengumumkan kesepakatan sementara terkait tarif impor, memicu spekulasi mengenai dampaknya terhadap negosiasi tarif yang sedang berlangsung antara Amerika Serikat dan Indonesia. Kesepakatan ini melibatkan penurunan tarif impor secara timbal balik untuk periode 90 hari ke depan.
Amerika Serikat dilaporkan menurunkan tarif impor dari China secara signifikan, dari angka sebelumnya yang mencapai 145 persen menjadi sekitar 30 persen. Sementara itu, China juga mengambil langkah serupa dengan menurunkan tarif impor dari Amerika Serikat dari 125 persen menjadi sekitar 10 persen.
Kesepakatan antara dua negara ekonomi terbesar dunia ini telah menimbulkan pertanyaan, apakah ini menjadi pertanda baik bagi Indonesia, yang juga tengah berupaya untuk mencapai kesepakatan penurunan tarif dengan Amerika Serikat? Saat ini, Indonesia sedang menegosiasikan potensi penurunan tarif sebesar 32 persen yang akan diterapkan oleh Amerika Serikat.
Para ekonom memberikan pandangan yang beragam mengenai potensi dampak kesepakatan AS-China terhadap Indonesia:
-
Wijayanto Samirin (Ekonom Universitas Paramadina): Melihat kesepakatan ini sebagai peluang positif bagi Indonesia. Ia berpendapat bahwa penurunan tarif sementara antara AS dan China berpotensi menjadi permanen. Ia juga memprediksi bahwa tarif dagang AS untuk negara lain, termasuk Indonesia, akan mengalami penurunan permanen, dengan kemungkinan tarif sebesar 10 persen.
-
Mohammad Faisal (Direktur Eksekutif CORE Indonesia): Menyatakan bahwa Indonesia berpeluang mendapatkan kesepakatan yang menguntungkan dalam negosiasi tarif dengan AS. Namun, ia menekankan pentingnya perhitungan yang matang dalam penawaran Indonesia selama negosiasi, mengingat posisi tawar Indonesia tidak sekuat China.
-
Bhima Yudhistira (Direktur Celios): Meskipun mengakui adanya kemungkinan penurunan tarif AS ke Indonesia, ia pesimis bahwa tarif akan turun hingga 30 persen seperti yang dikenakan ke China. Ia juga menilai peluang Indonesia untuk mendapatkan penurunan tarif hingga mendekati 10 persen sangat kecil.
Bhima Yudhistira menyarankan agar Indonesia lebih agresif dalam melobi Amerika Serikat. Ia mengusulkan untuk memanfaatkan isu-isu strategis seperti pembaruan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia (PTFI), relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga, dan bahkan isu Laut China Selatan sebagai alat untuk menekan Amerika Serikat agar memberikan tarif yang lebih rendah.
Para pengamat sepakat bahwa Indonesia perlu mengambil langkah proaktif dan strategis dalam negosiasi tarif dengan Amerika Serikat untuk memaksimalkan potensi keuntungan dari perubahan dinamika perdagangan global yang sedang berlangsung.