Konflik Mematikan di Pesisir Suriah Tewaskan Lebih dari Seribu Jiwa

Konflik Mematikan di Pesisir Suriah Tewaskan Lebih dari Seribu Jiwa

Insiden kekerasan mematikan yang terjadi di pesisir Suriah telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa lebih dari seribu orang. Peristiwa ini merupakan salah satu bentrokan paling berdarah sejak penggulingan rezim Bashar al-Assad pada Desember lalu, dan menjadi tantangan serius bagi pemerintahan baru Presiden Ahmed al-Sharaa. Bentrokan yang terjadi pada hari Kamis pekan lalu di wilayah yang didominasi minoritas Alawite, tempat asal Assad, melibatkan pasukan keamanan pemerintah baru dan loyalis mantan rezim. Ketegangan yang awalnya meletus di sepanjang pantai Mediterania, dengan cepat meningkat menjadi kekerasan berskala besar, mengancam stabilitas negara pasca-konflik.

Presiden Sharaa, dalam seruannya untuk persatuan dan perdamaian nasional dari sebuah masjid di Damaskus, menekankan pentingnya menjaga kesatuan bangsa. Ia berharap agar semua pihak dapat hidup berdampingan secara damai di Suriah. Namun, seruan tersebut tampaknya sulit direalisasikan mengingat skala kerusakan dan jumlah korban jiwa yang sangat besar. Berdasarkan laporan Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), sebuah lembaga pemantau perang yang berpusat di Inggris, sebanyak 745 warga sipil tewas di provinsi Latakia dan Tartus. SOHR menyatakan bahwa sebagian besar kematian tersebut disebabkan oleh 'eksekusi' yang dilakukan oleh personel keamanan atau pejuang pro-pemerintah, yang juga disertai dengan penjarahan rumah dan properti warga.

Selain warga sipil, konflik ini juga menelan korban jiwa dari pihak pasukan keamanan dan pejuang pro-Assad. SOHR mencatat 125 anggota pasukan keamanan dan 148 pejuang pro-Assad tewas dalam bentrokan tersebut. Dengan demikian, jumlah total korban tewas mencapai 1.018 jiwa. Kondisi ini menunjukkan intensitas dan brutalitas konflik yang melanda wilayah tersebut. Pemerintah Suriah, melalui kantor berita resmi SANA, melaporkan bahwa pasukan keamanan telah dikerahkan ke Latakia, Jableh, dan Baniyas untuk mengembalikan ketertiban. Namun, laporan dari warga setempat, seperti Samir Haidar (67) warga Baniyas, menggambarkan situasi yang mengerikan. Haidar menyatakan bahwa dua saudara laki-lakinya dan keponakannya dibunuh oleh kelompok bersenjata yang menyerbu rumah-rumah penduduk, dan menduga adanya keterlibatan pihak asing dalam peristiwa tersebut. Meskipun seorang Alawi, Haidar sendiri merupakan bagian dari oposisi sayap kiri terhadap Assad dan pernah dipenjara selama lebih dari satu dekade di bawah rezim sebelumnya.

Juru bicara Kementerian Pertahanan, Hassan Abdul Ghani, dalam sebuah video yang diunggah oleh SANA, menegaskan bahwa pasukan keamanan telah berhasil mengambil alih kendali wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh loyalis Assad. Ia juga mengeluarkan peringatan keras agar tidak mendekati atau menyerang siapapun yang berada di dalam rumah mereka. Dampak konflik ini juga terlihat pada sektor pendidikan. Menteri Pendidikan, Nazir al-Qadri, mengumumkan penutupan sekolah-sekolah di provinsi Latakia dan Tartus pada hari Minggu dan Senin karena kondisi keamanan yang tidak stabil. Selain itu, SANA juga melaporkan pemadaman listrik di seluruh provinsi Latakia akibat serangan terhadap jaringan listrik oleh loyalis Assad. Insiden pemicu bentrokan, menurut laporan SOHR, berawal dari penangkapan seorang tersangka yang dicari di sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah Alawite. Peristiwa ini menunjukkan betapa kompleks dan rawannya situasi politik dan keamanan di Suriah, bahkan setelah penggulingan rezim Assad.

Situasi di lapangan masih sangat cair dan membutuhkan pemantauan berkelanjutan. Kejadian ini menggarisbawahi tantangan besar yang dihadapi pemerintahan baru Suriah dalam upaya membangun stabilitas dan perdamaian di negara yang telah lama dilanda konflik. Keberhasilan upaya tersebut akan sangat menentukan masa depan Suriah dan kesejahteraan rakyatnya. Peran komunitas internasional dalam membantu proses rekonsiliasi dan pemulihan keamanan di Suriah juga sangat penting untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.