Kembalinya Arema FC ke Kanjuruhan: Antara Harapan dan Trauma Masa Lalu

Kanjuruhan Berdenyut Kembali: Kisah di Balik Layar Pertandingan Arema FC

Stadion Kanjuruhan kembali menjadi saksi bisu pertandingan sepak bola. Setelah hampir tiga tahun menjadi tim musafir pasca-Tragedi Kanjuruhan yang memilukan pada 1 Oktober 2022, Arema FC akhirnya kembali bermain di kandang sendiri dalam laga pekan ke-32 Liga 1 2024-2025 melawan Persik Kediri, Minggu (11/5/2025). Pertandingan tersebut berakhir dengan skor 0-3 untuk kemenangan Persik Kediri.

Namun, di balik gegap gempita stadion yang telah direnovasi, tersembunyi cerita-cerita personal yang sarat emosi. Salah satunya datang dari Umar, seorang kru broadcast yang bertugas sebagai floor director. Bagi Umar, Kanjuruhan bukan sekadar stadion tempatnya bekerja. Di sanalah, ia menjadi saksi mata tragedi yang merenggut ratusan nyawa.

Antara Trauma dan Profesionalisme

Umar mengaku, kenangan akan peristiwa kelam itu masih membekas kuat dalam benaknya. Ketika pertama kali kembali ke stadion, ia merasakan perubahan signifikan. Namun, aura kejadian tragis itu masih terasa. Ia menyempatkan diri berkeliling stadion, berdoa untuk para korban, dan memohon izin sebelum memulai pekerjaannya.

Saat tragedi terjadi, Umar berada di control room, tidak jauh dari Tribune Selatan yang menjadi titik pusat jatuhnya korban. Ia masih ingat bagaimana ia dan timnya harus bertahan di dalam ruangan hingga dini hari, merasa takut dan cemas. Walaupun tidak melihat langsung korban berjatuhan, suasana mencekam saat itu tetap menghantuinya.

“Kaget dan takut diserang pas kejadian itu karena kan kita di sini kerja, tidak ada sangkut pautnya dengan masalah kejadian itu. Ya waktu itu pintu langsung ditutup, kita bertahan di dalam ruangan sampai keluar stadion sekitar jam 2 malam. Kita berada di dalam control room lumayan lama,” kenang Umar.

Kembalinya ke Kanjuruhan, dengan kondisi yang lebih aman dan modern, membawa perasaan campur aduk baginya. Tragedi Kanjuruhan menjadi pengalaman pertamanya dalam dunia siaran pertandingan sepak bola, sebuah risiko yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Harapan untuk Sepak Bola Indonesia

Trauma memang tidak mudah diatasi, tetapi mobilitas pekerjaan sebagai kru broadcast membantunya perlahan-lahan memulihkan diri. Umar berharap, tragedi Kanjuruhan menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, terutama para suporter.

Ia mengajak seluruh elemen sepak bola Indonesia untuk menjunjung tinggi sportivitas dan saling menghormati. Rivalitas, menurutnya, sebaiknya hanya terjadi di lapangan selama 90 menit. Ia juga mengimbau suporter untuk tidak melakukan protes berlebihan yang merugikan pihak lain. Jika ada kekecewaan terhadap klub, sampaikanlah aspirasi secara langsung tanpa menciptakan kericuhan.

“Di dalam stadion itu kan banyak orang yang bertugas dengan kepentingan masing-masing, bukan hanya nonton sepak bola saja, jadi saling menghormati,” ujarnya.

Umar juga mengingatkan para suporter untuk tidak turun ke lapangan atau melakukan tindakan anarkis. Cukup sudah tragedi Kanjuruhan menjadi pengingat pahit. Ia berharap, sepak bola Indonesia bisa menjadi lebih baik, lebih aman, dan lebih menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas.