Gelombang PHK Hantam Pekerja Jakarta: Kisah Yogi, Korban Dugaan Praktik Nepotisme Perusahaan
Yogi, seorang pekerja berusia 27 tahun di Jakarta, merasakan pahitnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menghantam berbagai sektor. Ia menduga kuat bahwa PHK yang menimpanya bukan sekadar imbas dari kondisi ekonomi, melainkan praktik nepotisme yang masih mengakar di perusahaan tempatnya bekerja dulu. Yogi meyakini dirinya menjadi korban "tukar kepala", di mana posisinya dikorbankan demi mengakomodasi karyawan yang memiliki koneksi internal.
Pengalaman pahit ini bermula ketika Yogi menerima surat PHK pada pertengahan Oktober 2024. Bagai disambar petir di siang bolong, Yogi harus menerima kenyataan bahwa dirinya kehilangan pekerjaan. Ironisnya, Yogi merasa diperlakukan tidak adil oleh perusahaan. Menurutnya, perusahaan tidak memenuhi hak-hak pesangon yang seharusnya ia terima sesuai aturan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Ia hanya menerima satu kali gaji, padahal kontrak kerjanya masih berlaku hingga Februari 2025.
Kondisi ini semakin diperburuk dengan kenyataan bahwa Yogi baru saja dikaruniai anak pertama. Istrinya tentu terkejut dan terpukul dengan kabar PHK ini. Namun, sang istri memberikan dukungan penuh kepada Yogi. Ia menyadari bahwa kondisi ekonomi memang sedang sulit dan isu pengurangan karyawan sudah lama beredar di tempat Yogi bekerja. Dukungan istri menjadi penyemangat bagi Yogi untuk bangkit dan mencari pekerjaan baru.
Meski berat, Yogi tidak menyerah. Ia terus berusaha mencari pekerjaan baru. Hingga saat ini, Yogi telah mengirimkan lebih dari seratus lamaran ke berbagai perusahaan. Beberapa kali ia mendapat panggilan wawancara, namun belum ada yang membuahkan hasil. Yogi merasakan persaingan yang sangat ketat di pasar kerja saat ini. Banyaknya pekerja yang terkena PHK membuat persaingan semakin sengit.
Selain itu, Yogi juga mengamati adanya tren di mana perusahaan mencari kandidat yang serba bisa dengan gaji yang minim. Faktor usia juga menjadi kendala bagi Yogi. Ia merasa sulit bersaing dengan kandidat yang lebih muda, karena banyak perusahaan membatasi usia pelamar.
Yogi juga merasakan dampak dari praktik nepotisme yang masih kuat. Ia kerap kali kalah bersaing dengan kandidat yang memiliki koneksi internal di perusahaan. Ia mencontohkan pengalamannya saat bersaing dengan mantan juniornya yang memiliki saudara ipar di perusahaan. Meski memiliki kemampuan yang sama, Yogi harus mengakui keunggulan "orang dalam".
Saat ini, Yogi bertahan hidup dengan mengandalkan tabungan dan pekerjaan sampingan. Sang istri juga turut membantu menopang ekonomi keluarga. Yogi berharap segera mendapatkan pekerjaan yang layak agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan membahagiakan anak istrinya. Ia bertekad untuk terus berjuang dan tabah menghadapi masa-masa sulit ini.
Berikut adalah beberapa tantangan yang dihadapi Yogi dalam mencari pekerjaan:
- Persaingan yang ketat akibat banyaknya PHK
- Tuntutan perusahaan terhadap kandidat serba bisa dengan gaji minim
- Batasan usia yang diterapkan oleh perusahaan
- Praktik nepotisme yang masih kuat