Stadion Kanjuruhan Kembali Tercoreng: Bus Persik Kediri Diserang Usai Laga
Stadion Kanjuruhan, yang seharusnya menjadi simbol kebangkitan sepak bola Indonesia pasca-tragedi kelam 1 Oktober 2022, kembali diwarnai aksi kekerasan. Bus yang membawa tim Persik Kediri menjadi sasaran pelemparan batu oleh oknum suporter usai pertandingan melawan Arema FC pada Minggu, 11 Mei 2025. Insiden ini menimbulkan luka baru dan mempertanyakan komitmen untuk belajar dari masa lalu.
Pertandingan yang baru saja selesai, yang memperlihatkan kekalahan telak Arema FC 0-3 dari Persik Kediri, menjadi pemicu aksi brutal tersebut. Bus Persik diserang saat meninggalkan area stadion sekitar pukul 18.15 WIB. Akibat serangan itu, kaca bus bagian depan samping kiri pecah, tepat di area tempat duduk pelatih dan asisten pelatih.
Akibat dari insiden ini, Pelatih Persik Kediri, Divaldo Alves, mengalami memar di kepala, sementara asisten pelatih menderita luka ringan. Manajer Persik Kediri, Mochmad Syahid Nur Ichsan, menyayangkan kejadian tersebut, terutama di tengah upaya pembenahan sepak bola Indonesia.
Gelandang Persik Kediri, Ze Valente, mengungkapkan kekecewaannya melalui media sosial. Unggahannya, yang kemudian dihapus, menyiratkan rasa frustrasi karena minimnya pembelajaran dari tragedi sebelumnya.
Insiden ini terjadi di stadion yang sama dengan tragedi Kanjuruhan 2022, di mana 135 nyawa melayang akibat kericuhan pasca-pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya. Tragedi tersebut bermula dari kekalahan Arema FC, yang memicu suporter turun ke lapangan dan menyerang petugas. Aparat keamanan yang terdesak kemudian menembakkan gas air mata ke arah tribun, menyebabkan kepanikan dan jatuhnya banyak korban jiwa akibat terinjak-injak dan sesak napas.
Berikut adalah rangkuman detail kejadian:
- Waktu kejadian: Minggu, 11 Mei 2025, sekitar pukul 18.15 WIB
- Lokasi: Area luar Stadion Kanjuruhan
- Korban: Divaldo Alves (Pelatih Persik Kediri - memar di kepala), asisten pelatih Persik Kediri (luka ringan)
- Kerusakan: Kaca bus Persik Kediri pecah
Insiden ini sekali lagi menyoroti masalah klasik dalam sepak bola Indonesia, yaitu kurangnya kedewasaan suporter dan penegakan hukum yang lemah. Renovasi stadion dan perubahan regulasi saja tidak cukup jika tidak disertai dengan perubahan mentalitas dan komitmen untuk menciptakan lingkungan sepak bola yang aman dan kondusif.