Pengerahan TNI Amankan Kejaksaan Tuai Kritik: Indikasi Menguatnya Militerisme dalam Sistem Hukum Sipil?
Pengerahan personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk pengamanan lingkungan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Langkah ini dinilai sebagai indikasi menguatnya pengaruh militerisme dalam institusi sipil, khususnya dalam sistem penegakan hukum.
Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, secara terbuka mengkritik keras kerja sama resmi antara TNI dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang berujung pada penugasan prajurit TNI di lingkungan kejaksaan. Menurutnya, Surat Telegram (ST) Panglima TNI bernomor TR/422/2025 yang memerintahkan penyiapan dan pengerahan personel beserta perlengkapan untuk pengamanan Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia, serta ST Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) bernomor ST/1192/2025 yang menindaklanjuti perintah tersebut, justru mempertegas dominasi militerisme dalam lembaga penegak hukum.
Hendardi berpendapat bahwa Kejaksaan sebagai bagian integral dari sistem hukum pidana seharusnya beroperasi sepenuhnya sebagai institusi sipil. Keterlibatan militer dalam elemen sistem hukum pidana, menurutnya, bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dan supremasi hukum, serta berpotensi melemahkan wibawa hukum itu sendiri.
"Menurut hukum positif Indonesia, TNI hanya memiliki yurisdiksi penegakan hukum di lingkungan internal TNI, itupun dengan tata perundang-undangan Peradilan Militer yang memerlukan pembaruan," tegas Hendardi. Ia menambahkan bahwa ST Panglima TNI dan KSAD tersebut berpotensi melanggar Konstitusi Negara dan berbagai undang-undang terkait, seperti UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara, dan UU TNI. Ia mendesak Panglima TNI dan KSAD untuk segera menarik dan membatalkan surat telegram tersebut.
Hendardi juga mempertanyakan urgensi pengerahan personel Satuan Tempur dan Satuan Bantuan Tempur TNI untuk pengamanan institusi sipil penegak hukum seperti Kejaksaan. Ia menilai tidak ada kondisi objektif yang membenarkan tindakan tersebut. Bahkan, ia menganggap permintaan dan pemberian dukungan pengamanan dari Kejaksaan sebagai bentuk "kegenitan" institusi sipil dalam penegakan hukum. Ia berpendapat, pengamanan Kejaksaan oleh TNI justru memunculkan tanda tanya besar terkait motif politik yang mungkin sedang dimainkan oleh Kejaksaan melalui kolaborasi terbuka dengan TNI.
Lebih lanjut, Hendardi mendorong agar Panglima TNI dan jajarannya lebih fokus pada revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Revisi ini dianggap mendesak agar sesuai dengan semangat supremasi sipil, supremasi hukum, dan tata kelola pemerintahan yang demokratis. UU tersebut dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Kritik terhadap pengerahan TNI untuk mengamankan Kejaksaan ini menjadi sorotan penting dalam diskursus mengenai hubungan sipil-militer di Indonesia. Langkah ini memicu perdebatan mengenai batas-batas kewenangan militer dan implikasinya terhadap independensi lembaga penegak hukum sipil.