Wacana Operasi Caesar oleh Dokter Umum: Menimbang Manfaat dan Risiko dalam Sistem Kesehatan Nasional

Wacana mengenai pelatihan sectio caesarea (SC) bagi dokter umum telah memicu perdebatan sengit di kalangan profesional medis dan masyarakat luas. Ide ini muncul sebagai solusi potensial untuk mengatasi keterbatasan akses layanan obstetri, terutama di daerah-daerah terpencil yang kekurangan tenaga spesialis. Namun, respons dari berbagai pihak menunjukkan adanya kekhawatiran mendalam terkait implikasi etis, sistemik, dan operasional dari kebijakan ini.

Sebagai seorang praktisi yang berpengalaman dalam manajemen sistem kesehatan, saya melihat isu ini lebih dari sekadar pertanyaan tentang boleh atau tidak. Ini adalah tentang bagaimana sistem kesehatan dapat menyeimbangkan antara kebutuhan mendesak dan prinsip kehati-hatian. Dalam dunia kedokteran, niat baik saja tidak cukup. Diperlukan sistem yang kuat untuk memastikan bahwa niat tersebut tidak menjadi sumber risiko baru.

Operasi caesar bukanlah prosedur sederhana. Ini melibatkan pengambilan keputusan klinis yang kompleks, pemahaman mendalam tentang anatomi dan fisiologi obstetri, serta kemampuan untuk menangani komplikasi pasca operasi yang mungkin timbul. Pelatihan singkat bagi dokter umum tidak dapat menggantikan pendidikan dan pengalaman bertahun-tahun yang dimiliki oleh seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi.

Apabila tindakan SC diserahkan kepada dokter umum tanpa adanya jaminan mutu yang memadai, keselamatan pasien dan kredibilitas layanan primer justru akan terancam. Meskipun dalam situasi darurat atau krisis, dokter umum mungkin pernah melakukan SC karena tidak ada pilihan lain, praktik ini tidak boleh dijadikan standar. Hal ini lebih merupakan indikasi kegagalan sistem dalam mendistribusikan tenaga ahli secara merata. Pertanyaannya, apakah kita ingin melegitimasi kegagalan tersebut?

Belajar dari negara lain seperti Australia dan Kanada, kita menemukan model GP obstetrician atau family physician yang memiliki kompetensi dalam melakukan SC. Namun, mereka menjalani program khusus setara fellowship, sertifikasi yang ketat, dan berada di bawah sistem pengawasan yang solid. Tidak ada jalan pintas dalam memperoleh kompetensi SC. Di sistem kesehatan yang matang, perluasan kompetensi selalu diiringi dengan perluasan tanggung jawab dan penguatan struktur pendukung, seperti fasilitas anestesi dan NICU.

Diskusi ini muncul di tengah transisi besar setelah pengesahan UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023, yang membuka ruang bagi fleksibilitas pelayanan kesehatan, termasuk perluasan peran tenaga kesehatan. Namun, UU ini tetap menekankan pentingnya akreditasi fasilitas, sistem rujukan berjenjang, dan prinsip kompetensi berbasis bukti. Pasal 204 dan 205 secara tegas menyatakan bahwa pelayanan medis harus dilaksanakan oleh tenaga yang kompeten dan sesuai standar.

Jika kita ingin memperluas akses layanan obstetri, caranya bukan dengan menurunkan standar kompetensi, melainkan dengan memperkuat sistem pelatihan, memberikan insentif bagi distribusi tenaga spesialis, dan membangun ekosistem rujukan yang adaptif. Redistribusi beban kerja tidak boleh mengorbankan mutu pelayanan. Kita perlu memperkuat layanan primer, bukan membebani dokter umum dengan tugas yang berat tanpa dukungan struktural yang memadai.

Di sisi lain, kita juga perlu mengakui kemajuan yang telah dicapai dalam kualitas layanan primer dalam beberapa tahun terakhir. Banyak dokter umum telah memperoleh pelatihan tambahan yang relevan, mulai dari penanganan kegawatdaruratan maternal hingga kemampuan melakukan USG dasar untuk skrining kehamilan risiko tinggi. Puskesmas-puskesmas di berbagai wilayah telah mencapai akreditasi paripurna dan membangun kepercayaan publik sebagai lini pertama pelayanan kesehatan yang tangguh.

Oleh karena itu, perluasan kompetensi ke arah tindakan besar seperti SC harus ditempatkan dalam kerangka sistem yang menyeluruh, bukan sebagai respons reaktif terhadap kelangkaan spesialis. Kita sedang membangun sistem rujukan yang lebih adaptif, dan ini harus menjadi arah penguatan ke depan, yaitu saling melengkapi, bukan saling membebani.

Dari sudut pandang manajemen kesehatan, kebijakan ini menyentuh banyak elemen yang saling terkait, antara lain keselamatan pasien, beban kerja dokter umum, risiko hukum, kejelasan tarif INA-CBGs, dan dampaknya terhadap akreditasi fasilitas. Jika tidak dirancang dengan matang dan berorientasi jangka panjang, kebijakan ini justru akan menciptakan fragmentasi baru dalam layanan dasar. Yang paling dirugikan adalah pasien, terutama dari kelompok miskin dan mereka yang tinggal jauh dari akses spesialis.

Saya percaya bahwa semua dokter, baik umum maupun spesialis, bekerja dengan niat yang luhur. Namun, dalam sistem kesehatan, niat baik saja tidak cukup. Harus ada kerangka yang menjamin keselamatan, keadilan, dan akuntabilitas. Diskusi ini bukan tentang perebutan kewenangan, tetapi tentang keberanian untuk memperbaiki sistem secara menyeluruh. Mari kita berhenti bereaksi terhadap masalah dengan mencari jalan pintas. Sebaliknya, mari kita membuka ruang refleksi. Apakah kita sedang menyelamatkan sistem, atau sekadar menghindari tanggung jawab jangka panjang? Dalam dunia medis, niat baik hanyalah permulaan. Yang terpenting adalah bagaimana sistem mengeksekusinya dengan aman, adil, dan bermanfaat bagi masyarakat.