Ancaman Tersembunyi: Mengenal Lebih Dekat Efek Gigitan Ular Berbisa pada Tubuh Manusia
Bahaya Gigitan Ular Berbisa: Ancaman Kesehatan Global yang Terabaikan
Gigitan ular berbisa merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius dan seringkali terabaikan. Setiap tahun, lebih dari seratus ribu nyawa melayang akibat gigitan ular, dan ratusan ribu lainnya mengalami disabilitas permanen. Ironisnya, meski dampaknya sangat besar, isu ini belum mendapat perhatian yang proporsional dalam agenda kesehatan global.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah secara resmi mengakui gigitan ular sebagai penyakit tropis terabaikan (NTD) dengan prioritas tinggi sejak tahun 2017. WHO menargetkan penurunan angka kematian dan kecacatan akibat gigitan ular hingga 50% pada tahun 2030.
Salah satu kendala utama dalam penanganan gigitan ular adalah akses terbatas terhadap pengobatan yang efektif, terutama antivenom (antibisa). Masyarakat yang paling rentan seringkali tinggal di daerah terpencil yang jauh dari fasilitas kesehatan. Ketersediaan dan harga antivenom juga menjadi tantangan besar.
Reaksi Tubuh Terhadap Bisa Ular: Perbedaan Antara Viper dan Elapid
Bisa ular bekerja dengan cara yang sangat merusak tubuh manusia. Secara umum, ular berbisa dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama: viper dan elapid. Masing-masing kelompok ini memiliki efek yang berbeda pada tubuh.
Ular dari kelompok viper, seperti ular derik, menghasilkan bisa yang bersifat hemotoksik. Bisa ini menyerang sistem peredaran darah, menyebabkan pendarahan internal, pembengkakan parah, dan bahkan kegagalan organ.
Sementara itu, ular elapid, seperti kobra dan ular laut, menghasilkan bisa neurotoksik yang menyerang sistem saraf. Bisa ini dapat menyebabkan kelumpuhan, gangguan pernapasan, dan kematian dalam hitungan jam jika tidak segera diobati.
Kompleksitas Bisa Ular: Neurotoksin, Hemotoksin, dan Sitotoksin
Efek racun ular tidak hanya terbatas pada neurotoksisitas (yang menyerang sistem saraf) dan hemotoksisitas (yang merusak sistem peredaran darah). Bahkan, kedua efek ini sering kali tidak berdiri sendiri dan bisa muncul bersamaan dalam satu jenis bisa. Sebagai contoh, taipan, ular mematikan dari Australia, memiliki bisa yang sangat neurotoksik, yang dapat melumpuhkan sistem saraf dengan cepat. Namun, bisanya juga memiliki efek hemotoksik, yang mempercepat pembekuan darah secara ekstrem dan berisiko menyebabkan komplikasi serius.
Ular derik, yang dikenal karena menyebabkan pendarahan hebat, juga menghasilkan bisa sitotoksik yang merusak jaringan tubuh. Efek ini dapat menyebabkan luka parah, pembengkakan besar, hingga nekrosis (kematian jaringan). Beberapa spesies ular derik bahkan memiliki komponen racun yang bersifat neurotoksik, menunjukkan betapa kompleks dan berbahayanya campuran racun yang dimiliki ular berbisa.
Cara Kerja Antivenom: Menetralkan Racun dan Mencegah Kerusakan Lebih Lanjut
Pemberian antivenom sangat penting untuk menyelamatkan nyawa korban gigitan ular berbisa. Oleh karena itu, membawa korban ke fasilitas medis secepatnya sangat penting.
Antivenom bekerja dengan mengikat komponen racun dan menghalanginya untuk mencapai sasarannya. Antivenom tidak membalikkan efek racun, tetapi mencegah kerusakan lebih lanjut dengan menyaring racun yang tidak digunakan. Jika ada jeda waktu yang cukup lama sebelum antivenom diberikan, kerusakan yang terjadi selama waktu tersebut akan memerlukan perawatan tambahan.
Jenis-Jenis Antivenom: Monovalen dan Polivalen
Salah satu tantangan utama dalam menangani gigitan ular adalah pemilihan antivenom yang tepat. Antivenom monovalen diformulasikan untuk melawan bisa dari satu spesies ular saja. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada kepastian identitas ular yang menggigit. Ini menjadi masalah besar karena bahkan ular yang berkerabat dekat bisa memiliki komposisi bisa yang sangat berbeda. Bahkan dalam satu spesies pun, seperti kobra berlensa tunggal (Naja kaouthia), variasi racun bisa terjadi tergantung pada wilayah geografisnya.
Alternatifnya, digunakan antivenom polivalen, yang dirancang untuk menangani bisa dari beberapa spesies ular sekaligus. Namun, karena antibodi di dalamnya harus mencakup banyak jenis racun, efektivitas terhadap masing-masing spesies bisa berkurang. Akibatnya, diperlukan lebih banyak dosis, yang bukan hanya meningkatkan biaya, tetapi juga meningkatkan risiko efek samping bagi pasien.
Tantangan dalam Pengembangan Antivenom Universal
Struktur kimia bisa ular sangat kompleks dan bervariasi, itulah sebabnya hingga kini belum ada antivenom universal yang efektif untuk semua jenis gigitan berbisa. Selain itu, proses pembuatan antivenom sangat mahal dan rumit. Umumnya, racun disuntikkan ke hewan besar seperti kuda untuk merangsang produksi antibodi, yang kemudian diambil dan dimurnikan menjadi antivenom. Namun karena antibodi ini berasal dari hewan, reaksi penolakan tubuh atau efek samping seperti alergi atau syok anafilaksis juga menjadi risiko nyata—terutama di daerah yang fasilitas kesehatannya terbatas.