Verifikasi Ijazah Calon Pemilu: KPU Dikritik Kurang Transparan, Bukan Kekurangan Waktu
KPU Didesak Tingkatkan Transparansi dalam Verifikasi Ijazah Calon Peserta Pemilu
Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru-baru ini menyampaikan keluhan terkait keterbatasan waktu dalam melakukan verifikasi keabsahan ijazah para calon peserta Pemilu. Menanggapi hal tersebut, Ahli Hukum Pemilu dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Titi Anggraini, justru menyoroti kurangnya transparansi KPU dalam proses pencalonan.
Menurut Titi Anggraini, permasalahan utama bukanlah pada keterbatasan waktu, melainkan pada minimnya keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan proses pencalonan. Ia mencontohkan, kurangnya akses publik terhadap informasi terkait ijazah calon atau dokumen persyaratan lainnya menghambat partisipasi masyarakat dalam memastikan kebenaran dan validitas persyaratan.
"Selama ini KPU terlalu banyak berlindung di balik alasan perlindungan data pribadi calon, namun mengabaikan partisipasi, akuntabilitas, dan integritas dalam memastikan terpenuhinya seluruh persyaratan para pasangan calon secara adil dan kredibel," ujar Titi Anggraini.
Lebih lanjut, Titi Anggraini menyatakan bahwa KPU sebenarnya memiliki sumber daya yang cukup untuk memastikan terpenuhinya syarat calon, asalkan KPU bersedia bekerja secara terbuka, transparan, dan dengan manajemen tahapan yang profesional dan berintegritas. Ia juga menyoroti kemudahan akses KPU ke berbagai instansi terkait verifikasi ijazah dan persyaratan lainnya.
"Selama ini, baik KPU maupun Bawaslu seringkali mengabaikan informasi awal yang beredar di masyarakat. Mereka seringkali beralasan tidak adanya laporan resmi sebagai alasan untuk tidak menindaklanjuti berbagai spekulasi dan kontroversi di masyarakat. Hal ini yang seringkali menyebabkan permasalahan ijazah berlarut-larut dan berujung hingga ke Mahkamah Konstitusi," jelasnya.
Titi Anggraini menekankan pentingnya kejujuran dari para calon peserta Pemilu, baik terkait ijazah maupun rekam jejak. Namun, ia juga mengingatkan bahwa KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu memiliki kewajiban untuk mengantisipasi potensi pelanggaran dan kecurangan.
"Persoalan ijazah atau pelanggaran atas ketentuan persyaratan cenderung selalu terjadi dan berulang di setiap pemilu dan pilkada di Indonesia. Seharusnya, sudah ada sistem pencegahan dan antisipasi internal KPU yang optimal untuk menegakkan keadilan dan integritas pemilihan," tegas Titi Anggraini.
Sebelumnya, Ketua KPU Mochammad Afifuddin sempat menyampaikan keluhan mengenai minimnya waktu yang dimiliki KPU untuk memeriksa keaslian ijazah calon peserta pemilu. Ia juga menyoroti bahwa KPU seringkali disalahkan atas masalah administrasi yang muncul setelah proses pemilu berjalan, yang disebabkan oleh ketidakjujuran calon kandidat.
"Kadang-kadang kami juga punya kurang waktu untuk kemudian dan kurang kewenangan juga untuk menyatakan ijazah ini asli apa tidak. Keringetan kami juga nggak selesai juga," kata Mochammad Afifuddin di kantor Bawaslu.
Dengan adanya sorotan dari ahli hukum pemilu ini, diharapkan KPU dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses verifikasi ijazah calon peserta Pemilu, sehingga dapat terwujud pemilu yang adil dan berintegritas.