Legislator Dorong KPU Pertimbangkan Sistem Ad Hoc Guna Efisiensi Pemeriksaan Dokumen Pemilu

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mempertimbangkan penerapan sistem ad hoc dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya terkait dengan proses verifikasi dokumen peserta pemilu. Usulan ini muncul sebagai respons terhadap keluhan KPU mengenai keterbatasan waktu dan kewenangan dalam memvalidasi keaslian ijazah calon peserta pemilu.

Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, menyatakan bahwa sistem ad hoc dapat menjadi solusi efektif dan efisien dalam pengelolaan sumber daya dan waktu yang tersedia. Ia menjelaskan, sistem ad hoc memungkinkan KPU untuk membentuk tim khusus sesuai dengan kebutuhan dan tahapan pemilu, seperti tim ad hoc untuk pemilu legislatif dan tim ad hoc untuk pemilihan kepala daerah (pilkada).

"Dengan kondisi keuangan saat ini, salah satu solusi yang baik ke depannya adalah memikirkan agar kepanitiaan KPU di daerah bisa juga bersifat ad hoc sesuai dengan rezimnya, ad hoc rezim pemilu dan ada ad hoc rezim Pilkada sehingga dari dua sistem ini pola kerjanya benar-benar efektif dan efisien. Dan memiliki waktu kerja yang sesuai," ujar Dede Yusuf.

Lebih lanjut, Dede Yusuf menekankan pentingnya evaluasi berkala terhadap kinerja tim ad hoc pemilu dan pilkada. Evaluasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi perbaikan dan memastikan proses penyelenggaraan pemilu berjalan transparan dan akuntabel.

  • Evaluasi pasca Pemilu dan Pilkada: sistem ad hoc memungkinkan evaluasi yang terfokus pada setiap rezim pemilihan.
  • Peningkatan Efisiensi: Dengan tim yang dibentuk sesuai kebutuhan, KPU dapat bekerja lebih efektif dan efisien.
  • Fokus pada Kompetensi: KPU diharapkan merekrut personel dengan kompetensi yang sesuai untuk tim ad hoc.

Selain itu, Dede Yusuf menyoroti pentingnya seleksi anggota KPU yang kompeten dan profesional. Ia berharap KPU tidak hanya merekomendasikan individu tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kompetensi yang relevan dengan tugas dan tanggung jawab yang diemban.

Isu lain yang diangkat adalah jarak waktu antara pemilu dan pilkada. Dede Yusuf menyarankan agar pemerintah dan penyelenggara pemilu memberikan jarak waktu yang cukup signifikan antara kedua agenda tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk bekerja lebih optimal dalam mempersiapkan dan melaksanakan setiap tahapan pemilu.

Sebelumnya, Ketua KPU Mochammad Afifuddin menyampaikan keluhan terkait keterbatasan waktu dan kewenangan KPU dalam memverifikasi keaslian ijazah calon peserta pemilu. Ia mengakui bahwa KPU seringkali disalahkan atas masalah administrasi yang muncul setelah proses pemilu berjalan, yang disebabkan oleh ketidakjujuran kandidat.

"Kadang-kadang kami juga punya kurang waktu untuk kemudian dan kurang kewenangan juga untuk menyatakan ijazah ini asli apa tidak. Keringetan kami juga nggak selesai juga," kata Mochammad Afifuddin.