Kejagung Ungkap Alasan Pemberlakuan Pasal Perintangan terhadap Koordinator Buzzer dalam Kasus Obstruction of Justice

Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan penjelasan terkait penetapan pasal perintangan terhadap proses hukum (obstruction of justice) kepada M. Adhiya Muzakki (MAM), individu yang diduga mengkoordinasi aktivitas buzzer dalam sebuah kasus yang tengah ditangani. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa penetapan pasal ini didasari oleh keterlibatan MAM dalam permufakatan jahat yang terjadi sejak awal mula rangkaian peristiwa.

Menurut Harli, pertimbangan utama dalam menjerat MAM dengan pasal perintangan adalah karena yang bersangkutan telah terlibat dalam pemufakatan jahat sebelum kegiatan pengerahan buzzer itu sendiri dilakukan. Artinya, tindakan MAM tidak bisa dilihat sebagai aktivitas tunggal yang berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari upaya terkoordinasi untuk menghalangi proses hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang turut serta melakukan perbuatan pidana, serta Pasal 21 KUHP tentang perintangan proses penyidikan.

"Sejak awal, M. Adhiya Muzakki telah berkolaborasi dan bermufakat dengan Marcella Santoso dan Junaedi Saibih," ujar Harli. Kolaborasi ini kemudian berlanjut dengan perekrutan sekitar 150 buzzer yang bertugas menyebarkan narasi negatif terhadap Kejaksaan Agung dan menciptakan citra positif bagi kinerja tim pengacara. Atas jasanya ini, MAM menerima total dana sebesar Rp 864.500.000 dari Marcella Santoso, sementara masing-masing buzzer mendapatkan upah sebesar Rp 1,5 juta.

Kapuspenkum juga menjelaskan bahwa para buzzer yang terlibat dalam penyebaran narasi negatif tersebut tidak serta merta langsung ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik masih perlu melakukan pendalaman terhadap peran masing-masing buzzer dalam kerangka perkara ini. Ada kemungkinan bahwa para buzzer tersebut hanya bertugas menyebarkan konten tanpa sepenuhnya memahami maksud dan tujuan dari narasi yang mereka sebarkan.

"Para buzzer belum tentu menyadari bahwa tindakan mereka merupakan bagian dari konspirasi atau hanya sekadar menyebarkan berita yang dianggap negatif," jelas Harli.

Saat ini, fokus penyidikan masih tertuju pada pendalaman peran keempat tersangka dan penelusuran aliran dana yang terlibat dalam kasus ini. Selain MAM, Kejagung juga telah menetapkan Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, yang berprofesi sebagai advokat, serta Tian Bahtiar, Direktur Pemberitaan nonaktif JAK TV, sebagai tersangka. Tian Bahtiar diketahui menerima aliran dana sebesar Rp 478,5 juta dari kedua advokat tersebut.

Para tersangka diduga dengan sengaja menciptakan dan menyebarkan konten-konten negatif dengan tujuan untuk merusak citra Kejaksaan Agung, serta menghalangi atau bahkan menggagalkan proses penanganan perkara yang sedang berlangsung. Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan dugaan penyalahgunaan media sosial dan buzzer untuk kepentingan obstruction of justice.