Hakim MK Soroti Kedudukan Hukum Pemohon Uji Materi UU TNI: Bukan Ajang Popularitas!
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyoroti isu krusial terkait pengujian Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Hakim Konstitusi Arsul Sani menekankan pentingnya legal standing atau kedudukan hukum yang jelas bagi para pemohon yang mengajukan gugatan terhadap UU tersebut. Pernyataan ini disampaikan dalam sidang panel pengujian UU TNI di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Arsul Sani menegaskan bahwa meskipun setiap warga negara memiliki hak untuk mengajukan gugatan, tidak semua dari mereka secara otomatis memiliki kedudukan hukum yang sah di mata pengadilan. Ia mengingatkan para pemohon untuk benar-benar meyakini bahwa mereka memiliki dasar hukum yang kuat sebelum mengajukan permohonan uji materi. Lebih lanjut, Arsul menyarankan agar para pemohon mempelajari putusan-putusan MK sebelumnya, terutama yang berkaitan dengan uji formil, sebagai referensi dalam mempersiapkan argumen mereka.
"Sebaiknya para pemohon ini supaya punya keyakinan bahwa saya ini memiliki kedudukan hukum atau kami ini memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon, sebaiknya juga dilihat putusan-putusan sebelumnya," ujar Arsul Sani, menggarisbawahi pentingnya pemahaman terhadap yurisprudensi MK.
Dalam konteks ini, Arsul mencontohkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian formil UU Cipta Kerja. Ia menjelaskan bahwa dalam putusan tersebut, tidak semua pemohon dianggap memiliki legal standing yang sama. Beberapa di antaranya diberi kedudukan hukum, sementara yang lain tidak. Hal ini menunjukkan bahwa MK sangat selektif dalam menentukan siapa saja yang berhak mengajukan gugatan.
Sorotan khusus juga diberikan kepada mahasiswa yang kerap mengajukan gugatan terhadap UU TNI. Arsul mengakui hak mahasiswa untuk mengajukan gugatan, namun ia mempertanyakan apakah mereka benar-benar memiliki kedudukan hukum yang memadai. Ia menggambarkan skenario hipotetis tentang mahasiswa yang tidak terlibat dalam proses pembentukan UU, tidak berpartisipasi dalam diskusi publik, atau tidak menyampaikan pendapat kepada DPR. Menurutnya, mahasiswa semacam ini mungkin akan kesulitan untuk meyakinkan MK bahwa mereka memiliki kepentingan langsung yang terpengaruh oleh UU yang digugat.
"Gimana kalau selama proses pembentukan itu (UU TNI), diskusi aja nggak, apalagi menulis surat pendapat atau usulan kepada DPR, demo juga nggak ke DPR, maksudnya agar didengar. (Dia) kuliah dan kemudian ngobrol-ngobrol di kantin gitu, terus setelah undang-undangnya jadi, mengajukan uji formil, apa harus juga diberikan kemudian kedudukan hukum yang mahasiswa seperti ini?" tanya Arsul retoris.
Arsul membandingkan situasi tersebut dengan mahasiswa yang aktif terlibat dalam proses pembentukan UU, seperti melalui diskusi, seminar, atau demonstrasi. Ia berpendapat bahwa mahasiswa yang aktif berpartisipasi memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan legal standing di MK.
Lebih lanjut, Arsul mengingatkan para pemohon dari kalangan karyawan untuk menunjukkan concern atau kepedulian mereka terhadap UU yang digugat sejak awal. Ia menyarankan agar mereka aktif mengikuti perkembangan RUU, menyampaikan pendapat, atau menulis artikel terkait isu tersebut. Arsul secara implisit mengkritik pemohon yang baru mengajukan gugatan setelah UU disahkan hanya untuk mencari popularitas.
"Jangan juga selama ini asyik kerja, nggak pernah hadir, gak pernah ngikutin, nggak pernah nulis artikel itu kan, bahkan sekedar nulis di medsos aja nggak, tiba-tiba ini mohon maaf ini kalau ada ya biar populer gitu ya, saya ajukan permohonan formil pengujian undang-undang," tegasnya.
Dengan pernyataan ini, Hakim Arsul Sani memberikan pesan yang jelas kepada para pemohon uji materi UU TNI. Ia menekankan pentingnya legal standing yang kuat dan berbasis pada bukti-bukti yang relevan. Selain itu, ia juga mengingatkan agar pengajuan gugatan tidak didasari oleh motif-motif yang tidak relevan, seperti mencari popularitas semata.