Anomali Iklim: BMKG Mengungkap Tahun 2024 Sebagai Periode Terpanas dalam Sejarah Modern

Rekor Suhu Global Terpecahkan, Ancaman Krisis Iklim Semakin Nyata

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengumumkan bahwa tahun 2024 mencatatkan rekor sebagai tahun terpanas dalam sejarah pencatatan instrumental. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyampaikan bahwa fenomena ini bukan sekadar anomali cuaca biasa, melainkan indikasi kuat bahwa dunia sedang menuju titik kritis yang mengancam keberlangsungan hidup manusia.

"Kondisi ini bukan sekadar soal cuaca panas. Ini adalah tanda bahwa kita sedang bergerak menuju titik kritis yang bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia," tegas Dwikorita.

Data BMKG menunjukkan rata-rata suhu global pada tahun 2024 mencapai 1,55°C di atas tingkat pra-industri. Angka ini melampaui batas ambang yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris, yaitu 1,5°C, yang mengindikasikan percepatan dampak perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan. Peningkatan suhu ini, yang telah teramati sejak tahun 1981, berdampak signifikan terhadap berbagai sektor vital, termasuk kesehatan masyarakat.

Konsekuensi Peningkatan Suhu: Potensi Kepunahan Massal dan Gangguan Ekosistem

BMKG menekankan bahwa laju perubahan suhu saat ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan perubahan iklim yang terjadi jutaan tahun lalu, yang dapat memicu kepunahan massal. Kondisi ini menjadi peringatan serius akan indikator krisis iklim yang semakin nyata dan berpotensi mengganggu stabilitas ekosistem secara global.

"Jika punahnya dinosaurus dipicu oleh perubahan suhu yang berlangsung dalam jutaan tahun, kita sekarang mengalami lonjakan serupa hanya dalam 30 hingga 40 tahun," papar Dwikorita.

Masyarakat telah merasakan dampak nyata dari peningkatan suhu ini, termasuk peningkatan kasus penyakit menular, gangguan kesehatan mental, malnutrisi, dan penurunan kualitas hidup secara keseluruhan. Rata-rata suhu nasional di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 27,52°C, yang turut memperburuk kondisi kesehatan masyarakat. Perubahan pola curah hujan juga berkontribusi pada peningkatan kasus infeksi seperti kolera dan gigitan serangga.

Pengembangan Sistem Peringatan Dini Multibahaya Berbasis AI

Menyadari ancaman serius dari kenaikan suhu ini, BMKG bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan sistem peringatan dini multibahaya berbasis kecerdasan buatan (AI). Kolaborasi ini melibatkan Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Institute for Health Modeling and Climate Solutions (IMACS), dan Mohammed bin Zayed University of Artificial Intelligence (MBZUAI).

Sistem ini dirancang untuk memprediksi musim hingga enam bulan ke depan dengan tingkat akurasi mencapai 85 persen. Dengan memanfaatkan teknologi AI, prediksi ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan presisi hingga skala kota, kabupaten, atau bahkan desa.

"Dengan bantuan AI, prediksi ini bisa lebih akurat dan presisi, hingga skala kota, kabupaten atau bahkan satu desa," jelasnya.

Selain itu, BMKG juga menerapkan layanan cuaca di beberapa daerah melalui platform DBKlim, yang telah diimplementasikan di Jakarta dan Bali untuk memberikan peringatan dini terkait kasus demam berdarah.

Menghadapi musim kemarau di tahun 2025, BMKG mengimbau masyarakat untuk terus meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi bencana dan selalu memantau informasi terkini yang dikeluarkan oleh BMKG. Kolaborasi dan tindakan cepat menjadi kunci untuk melindungi masyarakat dari dampak terburuk perubahan iklim.

"Kita sedang berpacu dengan waktu. Semakin cepat kita bertindak, semakin besar peluang kita menyelamatkan masyarakat dari dampak paling buruk perubahan iklim. Kolaborasi adalah satu-satunya jalan," pungkasnya.