Ancaman Tarif Balasan Trump: Dampak Global dan Respon Indonesia
Gelombang Tarif Balasan Trump Mengancam Perdagangan Global: Bagaimana Indonesia Harus Bersikap?
Kebijakan tarif balasan yang digagas oleh mantan Presiden AS, Donald Trump, kembali menjadi sorotan. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan bahwa penerapan tarif timbal balik terhadap 57 negara dapat memicu penurunan volume perdagangan global sebesar 0,2 persen. Lebih lanjut, eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China berpotensi menciptakan ketidakpastian yang signifikan, mengancam stabilitas pertumbuhan ekonomi global.
Di Indonesia, pemerintah, ekonom, dan pelaku usaha menaruh perhatian serius terhadap potensi dampak dari kebijakan ini. Pemberlakuan tarif sebesar 32 persen sebagai respons terhadap surplus perdagangan non-migas Indonesia dengan AS yang mencapai 16,8 miliar dollar AS pada tahun 2024, dikhawatirkan akan mengganggu rantai pasok global, memicu kelangkaan bahan baku, menurunkan permintaan produk ekspor Indonesia (terutama tekstil dan alas kaki), serta membuka peluang bagi serbuan produk impor dari negara lain yang sebelumnya memasok ke AS. Mengingat status Indonesia sebagai anggota WTO, bea impor yang dikenakan oleh AS seharusnya berlaku secara non-diskriminatif atau dengan prinsip Most Favored Nation (MFN) bagi seluruh 166 anggota WTO, dengan tarif berkisar antara 6 hingga 10 persen.
Amerika Serikat merupakan pasar ekspor kedua terbesar bagi Indonesia setelah China, dengan menyerap sekitar 9,7 persen dari total ekspor Indonesia. Produk-produk ekspor utama Indonesia ke AS meliputi elektronik, tekstil, alas kaki, minyak kelapa sawit, karet, furnitur, udang, dan produk perikanan laut lainnya.
Posisi Tawar dan Mekanisme WTO
Banyak pihak berpendapat bahwa negara-negara yang menjadi target tarif balasan umumnya memiliki posisi tawar yang lemah, sehingga sulit untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan melalui pendekatan bilateral dengan AS. Negara-negara dengan ekonomi yang lebih kecil dan sangat bergantung pada ekspor ke AS, misalnya, mungkin memiliki daya tawar yang terbatas. Data dari UNCTAD menunjukkan bahwa dari 57 negara yang terkena dampak tarif balasan, 11 di antaranya tergolong negara kurang berkembang (LDCs), sementara 27 negara hanya menyumbang defisit perdagangan AS di bawah 0,1 persen.
Amerika Serikat memiliki catatan panjang dalam sengketa tarif di WTO. Pada 20 Juni 2018, AS mengenakan tarif bea masuk 25 persen terhadap produk tertentu dari China dengan alasan melindungi moral publik sesuai dengan Pasal XX (a) GATT 1994. Kemudian, pada 21 September 2018, AS memberlakukan tarif tambahan 10 persen pada kelompok produk lainnya. Puncaknya, pada 10 Mei 2019, AS menaikkan tarif kelompok kedua menjadi 25 persen.
China mengajukan konsultasi bilateral sesuai prosedur Penyelesaian Sengketa (DSU) WTO, namun upaya ini gagal. China kemudian mengajukan pembentukan panel, dan hanya dalam 1,5 tahun sejak kebijakan AS diberlakukan, Panel WTO mengeluarkan rekomendasi pada 15 September 2020. Rekomendasi tersebut menyatakan bahwa kebijakan tarif tambahan AS terhadap China tidak sesuai dengan Pasal I:1 (MFN) dan Pasal II:1 (a) dan (b) GATT, di mana AS menerapkan tarif yang lebih tinggi dari tarif yang telah dikonsesikan ke GATT.
Kewajiban utama sebagai anggota WTO adalah memberikan konsesi penurunan dan menetapkan (bound) tarif bea masuk pada tingkat tertentu sesuai dengan Pasal II: 1(a) GATT. Tarif yang di-bound ini menjadi konsesi dan diberlakukan sama untuk seluruh negara anggota sesuai dengan Pasal I:1 GATT, dengan prinsip bahwa konsesi tersebut mengikat dan tidak dapat diubah melebihi batas yang telah di-bound tanpa melakukan negosiasi dengan negara anggota WTO. Contohnya, tarif tertinggi AS untuk produk pertanian rata-rata adalah 41,3 persen, sementara untuk produk non-pertanian adalah 3,2 persen.
Melanggar Aturan WTO?
AS berulang kali menyatakan ketidakpuasannya, terutama terkait isu perdagangan dengan China. Namun demikian, aturan perdagangan multilateral dapat memberikan keuntungan bagi negara-negara yang bergantung pada pasar AS, terutama jika negara-negara tersebut bersatu untuk meningkatkan posisi tawar mereka di hadapan AS. Setidaknya, membawa isu tarif balasan ini ke forum multilateral akan mengurangi ketidakpastian dalam perdagangan internasional.
Beberapa Pasal WTO dapat dijadikan argumen, rujukan, dan penilaian agar negara yang dikenakan tarif mendapatkan keuntungan jika mengajukan isu kebijakan tarif Trump ke forum multilateral:
- Pasal I GATT: AS menerapkan tarif produk impor kepada 57 negara yang berbeda tingkat tarifnya dengan negara-negara anggota WTO lainnya.
- Pasal II:1(a) of GATT 1994: tentang tarif bea masuk dan perlakuan non-diskriminatif yang mengatur setiap negara anggota GATT harus memberikan perlakuan dan tingkat tarif yang sama kepada produk impor dari negara-negara anggota WTO lainnya.
- Pasal II:1(B) GATT 1994: mengatur tentang kewajiban negara-negara anggota untuk tidak mengenakan biaya atau pungutan lain pada impor melebihi yang telah disepakati dalam daftar konsesi tarif mereka.
- Pasal VIII:3 GATT 1994: mengatur tentang biaya yang terkait dengan impor dan ekspor termasuk memastikan biaya tersebut tidak menjadi hambatan perdagangan serta bertujuan mengurangi hambatan perdagangan.
Tindakan pengenaaan tarif resiprokal yang diterapkan oleh AS telah melebihi batas bound tariff berdasarkan skedul konsesi tariff AS pada GATT schedule consessions sebagaimana telah diatur dalam pasal II:1(a) dan II:1(b) GATT. Pasal VIII:3 GATT 1994, karena langkah-langkah penerapkan tarif resiprokal ini sangat substansial, maka dapat dianggap tidak konsisten terhadap peraturan bea cukai atau persyaratan prosedural dan akan memberikan efek negatif terhadap negara yang selama ini mendapatkan manfaat atas kepastian konsesi yang telah ditetapkan oleh AS sebelumnya.
Membawa isu ini ke WTO akan membantu menyelesaikan ketegangan perdagangan dan mencegah eskalasi perang dagang lebih lanjut. Selain itu, dapat menjadi preseden untuk sengketa perdagangan di masa depan dan memastikan agar para anggota mematuhi aturan WTO. Demikian pula negara yang terkena dampak, utamanya negara berkembang, mempunyai hak mendapatkan kompensasi dari kebijakan suatu negara bila diputuskan melanggar aturan WTO. Bukankah sudah banyak preseden negara berkembang juga mampu memenangkan sengketa di WTO atas negara maju, termasuk Indonesia?