Polemik Penamaan Bale Jaya Dewata di Cirebon: Warisan Sejarah Sunda dan Aspirasi Lokal Berbenturan

Kontroversi Penamaan Gedung Karesidenan Cirebon: Menggali Akar Sejarah dan Sentimen Lokal

Keputusan untuk menamai ulang bekas Gedung Karesidenan Cirebon menjadi Bale Jaya Dewata, sebuah inisiatif yang digagas oleh Dedi Mulyadi, telah memicu perdebatan hangat di kalangan masyarakat dan budayawan Cirebon. Langkah ini, yang dimaksudkan sebagai penghormatan kepada Prabu Siliwangi, tokoh sentral dalam sejarah Sunda, justru menuai kritik dan pertanyaan mengenai relevansi historis serta proses pengambilan keputusan yang dianggap kurang melibatkan partisipasi lokal.

Dedi Mulyadi berpendapat bahwa Jaya Dewata, sebagai salah satu nama dari Prabu Siliwangi, memiliki kaitan erat dengan leluhur Cirebon. Ia menekankan pentingnya menjaga dan merawat bangunan bersejarah tersebut, serta mengajak masyarakat untuk memberikan kritik yang konstruktif dan objektif.

Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya diterima oleh para budayawan Cirebon. Mereka mempertanyakan representasi sejarah lokal yang kurang tercermin dalam penamaan tersebut. Jajat Sudrajat, seorang pemerhati sejarah Cirebon, menjelaskan bahwa meskipun Jaya Dewata memiliki garis keturunan dengan pendiri Cirebon, tokoh ini tidak pernah secara langsung hadir atau terlibat dalam sejarah wilayah tersebut.

Akar Sejarah Jaya Dewata dan Keterkaitannya dengan Cirebon

Jaya Dewata, yang kemudian dikenal sebagai Prabu Siliwangi, adalah tokoh penting dalam sejarah Kerajaan Sunda pada abad ke-15. Menurut catatan sejarah, setelah menikahi Nyimas Ayu Subang Kranjang, ia memiliki tiga putra: Walang Sungsang, Rara Santang, dan Kian Santang. Walang Sungsang kemudian dikenal sebagai Pangeran Cakrabuana, sementara Rara Santang menjadi Syarifah Mudaim, ibunda dari Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.

Keterkaitan geneologis ini tidak serta merta membuat nama Jaya Dewata relevan dengan sejarah lokal Cirebon. Jajat Sudrajat khawatir bahwa penggunaan nama tersebut dapat menimbulkan kebingungan historis, mengingat Prabu Siliwangi sendiri belum pernah menginjakkan kaki di Cirebon.

Aspirasi Lokal dan Proses Pengambilan Keputusan

Selain masalah representasi sejarah, kritik juga ditujukan pada proses pengambilan keputusan yang dianggap tidak partisipatif. Para budayawan Cirebon merasa tidak dilibatkan dalam penamaan gedung yang memiliki nilai historis tinggi tersebut. Mereka berpendapat bahwa nama tokoh lokal seperti Panembahan Losari atau Pangeran Sucimanah akan lebih relevan dalam menggambarkan identitas Cirebon.

Chaidir Susilaningrat, seorang tokoh budaya Cirebon, menekankan pentingnya musyawarah dengan para pemangku kebudayaan dalam penamaan gedung bersejarah. Gedung tersebut, yang dibangun sejak tahun 1808, memiliki nilai sejarah penting sebagai bekas markas pasukan Belanda.

Upaya Dialog dan Penyelesaian Polemik

Menanggapi polemik yang berkembang, para budayawan Cirebon berencana untuk menggelar dialog terbuka. Mereka berharap dapat menyamakan persepsi dan menemukan titik temu melalui diskusi yang konstruktif. Tujuannya adalah untuk mencapai kesepahaman yang menghormati sejarah lokal dan mengakomodasi aspirasi masyarakat Cirebon.

Polemik ini menjadi pengingat akan pentingnya melibatkan masyarakat lokal dalam setiap keputusan yang berkaitan dengan warisan budaya dan sejarah. Proses partisipatif dan dialog terbuka dapat membantu menghindari kesalahpahaman dan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil mencerminkan nilai-nilai dan identitas yang dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.

  • Sejarah Jaya Dewata.
  • Kritik Budayawan Cirebon.
  • Polemik Penamaan Bale Jaya Dewata.
  • Musyawarah dengan para pemangku kebudayaan.
  • Gedung bersejarah yang dibangun sejak tahun 1808.