Polemik Penamaan Bale Jaya Dewata di Cirebon: Sentimen Lokal vs. Penghormatan Leluhur
Alih nama Gedung Negara Eks Karisidenan Cirebon menjadi Bale Jaya Dewata menuai reaksi keras dari sejumlah budayawan. Keputusan yang digagas oleh Dedi Mulyadi ini dinilai kurang melibatkan masyarakat Cirebon serta para pelestari budaya lokal.
Para budayawan menyayangkan perubahan nama yang dianggap tidak selaras dengan nilai historis dan sejarah Cirebon. Jajat Sudrajat, seorang pemerhati budaya, mempertanyakan dasar penamaan tersebut dan menyoroti kurangnya komunikasi dengan tokoh-tokoh Cirebon.
"Loh saya kaget, ini penamaan ini dasarnya apa? Kok tidak ada satu pun orang Cirebon yang diajak bicara?"
Jajat menjelaskan bahwa Jaya Dewata adalah nama muda dari Raden Pamanah Rasa, yang kemudian dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Menurutnya, Prabu Siliwangi tidak memiliki keterkaitan langsung dengan sejarah Cirebon, sehingga penggunaan nama tersebut berpotensi menimbulkan kebingungan historis. Ia menyarankan agar nama tokoh lokal seperti Panembahan Losari atau Pangeran Sucimanah lebih relevan untuk disematkan pada gedung tersebut.
Chaidir Susilaningrat, tokoh budaya lainnya, menekankan pentingnya musyawarah dengan para pemangku kebudayaan dalam penamaan gedung bersejarah. Hal ini dianggap krusial untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya bangsa. Chaidir juga mengingatkan bahwa gedung tersebut memiliki nilai sejarah yang signifikan, dibangun sejak tahun 1808 dan pernah menjadi markas pasukan Belanda.
Menanggapi kritik tersebut, Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa penamaan Jaya Dewata adalah bentuk penghormatan kepada leluhur masyarakat Cirebon, yang menurutnya memiliki garis keturunan dengan Prabu Siliwangi. Ia mengakui bahwa proses penamaan didasarkan pada intuisi pribadinya sebagai pemimpin.
"Nama Jaya Dewata itu kan nama Prabu Siliwangi dan Prabu Siliwangi itu kan leluhurnya orang Cirebon," ujar Dedi Mulyadi.
Ia meminta masyarakat untuk fokus pada substansi, seperti pengelolaan dan perawatan gedung yang sebelumnya terabaikan. Dedi mempertanyakan mengapa kondisi gedung yang kumuh dan tidak terawat tidak mendapat perhatian sebelumnya. Ia mengajak masyarakat untuk bersikap kritis secara objektif dan tidak mempermasalahkan hal yang sebenarnya bertujuan baik.
Persoalan alih nama ini bukan sekadar perubahan label, melainkan menyentuh isu sensitif mengenai identitas, sejarah, dan pelestarian budaya lokal. Perbedaan pendapat antara budayawan dan pemangku kebijakan menyoroti pentingnya dialog dan musyawarah dalam setiap upaya perubahan yang berdampak pada warisan budaya.