Industri Keramik Nasional Terancam Krisis Akibat Ketidakpastian Pasokan dan Mahalnya Harga Gas
Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) menyampaikan kekhawatiran serius terkait ketidakpastian pasokan gas dan tingginya biaya regasifikasi Gas Alam Cair (LNG) yang dapat menghambat pertumbuhan dan investasi di sektor keramik nasional.
Ketua Umum ASAKI, Edy Suyanto, mengungkapkan bahwa kondisi ini berpotensi mengganggu rencana ekspansi industri keramik yang ambisius. Peta jalan industri keramik nasional menargetkan peningkatan kapasitas produksi dari 625 juta m2/tahun menjadi 718 juta m2/tahun pada akhir 2026, dan terus meningkat hingga 850 juta m2/tahun pada tahun 2030. Namun, realisasi target ini terancam akibat ketidakpastian pasokan gas dan harga yang tidak kompetitif.
"Ketidakpastian pasokan gas dan mahalnya harga regasifikasi gas dapat merusak iklim investasi dan kepastian berusaha di Indonesia, sehingga mengganggu roadmap industri keramik nasional yang telah merencanakan ekspansi kapasitas," ujar Edy.
Padahal, industri keramik menunjukkan tren positif pada kuartal I-2025 dengan tingkat utilisasi mencapai 75%, meningkat signifikan dibandingkan rata-rata tahun 2024 sebesar 65%. ASAKI memproyeksikan pertumbuhan ini dapat mencapai 85% jika didukung oleh kebijakan pemerintah yang tepat, seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), dan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib untuk keramik.
Namun, masalah pasokan gas yang tidak stabil dan harga yang mahal membuat industri keramik berada dalam posisi yang sulit.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memperpanjang kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk tujuh sektor industri dengan harga US$ 6,5-7 per MMBTU. Akan tetapi, industri keramik di lapangan masih harus membayar harga gas hingga US$ 16,77 per MMBTU karena harus menggunakan LNG.
Edy menjelaskan bahwa implementasi kebijakan HGBT pada Januari-April 2025 tidak sesuai dengan harapan industri keramik. PT Perusahaan Gas Negara (PGN) menerapkan persentase Alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT) yang semakin menurun. Di Jawa bagian barat, AGIT hanya sebesar 65,3%, sedangkan di Jawa bagian timur hanya 48,8%. Hal ini memaksa industri untuk berproduksi dengan biaya gas rata-rata di atas US$ 8 per MMBTU, atau sekitar 15% lebih mahal.
"Sangat disayangkan, terlebih untuk Jawa bagian Timur yang seharusnya tidak ada kendala pasokan gas. Namun, diinformasikan adanya gangguan di hulu yang membutuhkan waktu perbaikan hingga Oktober mendatang," tambahnya.
ASAKI berharap Kementerian ESDM dapat turun tangan untuk mengatasi defisit pasokan gas ini. Industri keramik sulit untuk tumbuh tanpa pasokan gas yang lancar dan harga yang terjangkau. Industri juga tidak mungkin bertahan dengan harga regasifikasi gas sebesar US$ 16,77 per MMBTU yang dikenakan oleh PGN.
Berikut adalah poin-poin penting yang menjadi perhatian ASAKI:
- Ketidakpastian pasokan gas: Industri keramik menghadapi masalah ketidakpastian pasokan gas yang mengganggu kelangsungan produksi.
- Mahalnya harga gas: Harga gas yang tinggi, terutama akibat biaya regasifikasi LNG, membuat biaya produksi meningkat signifikan.
- Implementasi HGBT yang tidak efektif: Kebijakan HGBT yang diharapkan dapat meringankan beban industri keramik belum berjalan efektif di lapangan.
- Penurunan AGIT: Persentase Alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT) yang semakin menurun memperparah masalah pasokan gas.
- Gangguan pasokan di Jawa Timur: Gangguan pasokan gas di Jawa Timur menambah beban bagi industri keramik di wilayah tersebut.
- Peran pemerintah: ASAKI berharap pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, dapat segera mengatasi masalah ini untuk menjaga keberlangsungan industri keramik nasional.