Revisi UU Pemilu: DPR Siap Bahas Tahun 2026, Megawati Kritik Indikasi Transaksi Kekuasaan
DPR RI melalui Komisi II berencana memulai pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada tahun 2026. Rencana ini mencuat di tengah sorotan tajam dari tokoh politik senior, Megawati Soekarnoputri, terkait potensi penyalahgunaan pemilu untuk kepentingan transaksional.
Muhammad Khozin, Anggota Komisi II DPR, menjelaskan bahwa proses penggodokan poin-poin revisi telah berjalan melalui serangkaian Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan diskusi mendalam. Ia mengindikasikan bahwa pembahasan secara formal akan dimulai pada tahun 2026, jika tidak ada kendala berarti. Khozin membagi fokus revisi menjadi dua klaster utama: teknis dan politis. Klaster teknis mencakup isu-isu seperti sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), dan ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Sementara itu, klaster politis akan mengkaji sistem yang ideal dengan mempertimbangkan kerangka teoretis dan realitas empiris di lapangan.
Reaksi keras terhadap rencana revisi UU Pemilu datang dari Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri. Dalam sebuah acara, Megawati mengingatkan bahwa esensi pemilu bukanlah ajang untuk mencari individu yang berupaya "membeli kekuasaan". Ia menyoroti adanya kecenderungan pihak-pihak tertentu yang hanya berfokus pada kemenangan pemilu demi meraih kekuasaan dan keuntungan pribadi. Megawati mempertanyakan sumber dana yang digunakan dalam praktik-praktik tersebut, mengisyaratkan adanya praktik-praktik yang tidak transparan.
Salah satu isu krusial dalam revisi UU Pemilu adalah penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen. Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya telah membatalkan ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu. Wakil Ketua MK, Saldi Isra, berpendapat bahwa presidential threshold melanggar hak konstitusional partai politik, terutama yang tidak memiliki persentase suara yang signifikan secara nasional atau kursi di DPR pada pemilu sebelumnya. MK juga memberikan lima poin pedoman rekayasa konstitusional yang dapat digunakan sebagai acuan dalam merevisi UU Pemilu, yaitu:
- Hak Usul Calon: Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
- Tanpa Persentase: Pengusulan pasangan calon tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
- Gabungan Partai: Partai politik peserta pemilu dapat bergabung untuk mengusulkan pasangan calon, asalkan tidak menyebabkan dominasi yang membatasi pilihan pemilih.
- Sanksi: Partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon akan dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
- Partisipasi Publik: Perumusan rekayasa konstitusional, termasuk revisi UU Pemilu, harus melibatkan partisipasi semua pihak yang berkepentingan, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR, dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.
Dengan adanya rencana revisi UU Pemilu dan sorotan tajam dari berbagai pihak, proses pembahasan di DPR diharapkan dapat menghasilkan undang-undang yang lebih adil, transparan, dan sesuai dengan semangat demokrasi.