KPK Tegaskan Kewenangan Usut Korupsi di BUMN, UU BUMN Tak Jadi Penghalang
KPK: UU BUMN Tak Membatasi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) tidak akan menghalangi upaya lembaga tersebut dalam memberantas korupsi yang melibatkan direksi BUMN. Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menyatakan bahwa KPK tetap memiliki wewenang untuk menyelidiki, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh direksi, komisaris, atau pengawas di BUMN.
Pernyataan ini disampaikan sebagai respons terhadap interpretasi beberapa pihak terhadap Pasal 9G dan Pasal 4B UU BUMN. Pasal 9G menyebutkan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara, sementara Pasal 4B menyatakan kerugian BUMN bukan kerugian negara. KPK berpendapat bahwa kedua pasal tersebut tidak serta merta menghilangkan kewenangan KPK dalam mengusut kasus korupsi di BUMN.
Setyo Budiyanto menjelaskan bahwa ketentuan dalam UU BUMN tersebut kontradiktif dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). UU Nomor 28 Tahun 1999 secara jelas mengatur tentang penyelenggara negara, yang bertujuan untuk mencegah praktik KKN. Dalam konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi, KPK tetap berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 1999.
Lebih lanjut, Setyo Budiyanto menafsirkan penjelasan Pasal 9G UU Nomor 1 Tahun 2025 yang menyatakan bahwa status penyelenggara negara bagi pengurus BUMN tidak hilang. Dengan demikian, direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN tetap memiliki kewajiban untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan penerimaan gratifikasi.
Kerugian BUMN Tetap Dianggap Kerugian Negara
KPK juga menegaskan bahwa kerugian yang terjadi di BUMN tetap dianggap sebagai kerugian negara. Hal ini didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 48/PUU-XI/2013 dan 62/PUU-XI/2013 yang kemudian dikuatkan dengan putusan nomor 59/PUU-XVI/2018 dan 26/PUU-XIX/2021. Putusan MK tersebut menyatakan bahwa keuangan negara yang dipisahkan, termasuk BUMN, tetap merupakan bagian dari keuangan negara.
Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana kepada direksi, komisaris, atau pengawas BUMN. Hal ini berlaku sepanjang kerugian tersebut disebabkan oleh perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, atau penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR) sebagaimana diatur dalam Pasal 3Y dan 9F UU Nomor 1 Tahun 2025. Contohnya, jika kerugian diakibatkan oleh fraud, suap, konflik kepentingan, atau kelalaian dalam mencegah kerugian negara oleh direksi, komisaris, atau pengawas BUMN.
KPK menekankan bahwa pihaknya tetap memiliki kewenangan untuk mengusut kasus korupsi di BUMN jika terdapat unsur penyelenggara negara dan kerugian keuangan negara, atau salah satu di antaranya. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 Ayat (1) huruf a dan b UU 19/2019 tentang KPK serta putusan MK nomor 62/PUU-XVII/2019.
SEA Action Dukung Kewenangan KPK
Chairman Southeast Asia Anti Corruption Syndicate (SEA Action), M Praswad Nugraha, mendukung penuh kewenangan KPK dalam memberantas korupsi di BUMN. Menurutnya, UU BUMN yang mengatur status direksi bukan sebagai penyelenggara negara tidak berlaku bagi KPK karena kewenangan KPK bersifat lex specialis yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 jo Undang-Undang 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia menegaskan bahwa tidak ada perubahan dalam UU KPK yang membatasi kewenangan KPK dalam menangani perkara terkait penyelenggara negara.
Praswad Nugraha menambahkan bahwa definisi penyelenggara negara juga diatur secara lex specialis dalam Pasal 2 UU Nomor 28 Tahun 1999. Ia mempertanyakan dasar fundamental UU BUMN yang tiba-tiba mengatur tentang proses penegakan hukum. Menurutnya, penguatan tata kelola BUMN dan pemberantasan korupsi tidak dapat dipisahkan, dan pemisahan tersebut melalui pasal yang menjauhkan BUMN dari intervensi KPK adalah suatu kesalahan.
Gugatan UU BUMN ke Mahkamah Konstitusi
UU BUMN sendiri saat ini tengah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Para pemohon menggugat karena proses pembentukan UU BUMN dinilai tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Mereka berpendapat bahwa UU BUMN seharusnya dibahas secara transparan dan terbuka dengan melibatkan elemen masyarakat, sesuai dengan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Para pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan UU 1/2025 tentang BUMN tidak memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.