Waspada Mafia Tanah: Modus Balik Nama Sertifikat Kembali Makan Korban di Bantul
Maraknya Kasus Dugaan Mafia Tanah di Bantul: Modus Operandi dan Korban Berjatuhan
Kasus dugaan praktik mafia tanah kembali mencuat di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dengan modus operandi yang serupa: menawarkan jasa pengurusan balik nama sertifikat tanah namun berujung pada penyalahgunaan sertifikat sebagai agunan bank. Polres Bantul saat ini tengah melakukan penyelidikan atas laporan seorang warga Kasihan yang menjadi korban praktik penipuan ini, menambah daftar panjang kasus serupa yang meresahkan masyarakat.
Korban berinisial IR (40) awalnya berniat untuk mengurus balik nama sertifikat tanah miliknya. Ia kemudian bertemu dengan MWE (48), seorang warga Kota Yogyakarta, yang menawarkan jasa dengan iming-iming biaya yang telah disepakati sebesar Rp 11,4 juta. Tergiur dengan tawaran tersebut, IR menyerahkan sertifikat dan uang tunai kepada MWE pada April 2023. Dijanjikan proses selesai dalam kurun waktu 1-2 tahun, IR menunggu dengan sabar. Namun, hingga tahun 2024, tidak ada perkembangan berarti dalam pengurusan sertifikatnya.
Kecurigaan IR mulai timbul ketika pada November 2024, ia didatangi oleh pihak bank swasta yang menginformasikan bahwa sertifikat tanah miliknya telah diagunkan oleh MWE. Merasa menjadi korban penipuan, IR berusaha menghubungi MWE, namun terlapor telah menghilang tanpa jejak. Akhirnya, IR melaporkan kejadian ini ke Polres Bantul untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut.
Kasus yang menimpa IR menambah daftar panjang kasus serupa di Bantul. Sebelumnya, masyarakat juga diresahkan dengan kasus yang menimpa Mbah Tupon dan Bryan Manov, yang juga menjadi korban praktik mafia tanah. Polda Yogyakarta bahkan telah turun tangan untuk menyelidiki kedua kasus tersebut, dengan memblokir sertifikat tanah milik para korban untuk kepentingan penyidikan.
Mengungkap Modus Operandi Mafia Tanah: Studi Kasus Mbah Tupon dan Bryan Manov
Kasus Mbah Tupon, seorang warga Bangunjiwo, Kasihan, menjadi sorotan publik ketika ia terancam kehilangan tanah seluas 1.655 meter persegi beserta bangunan di atasnya. Modusnya bermula ketika Mbah Tupon hendak menjual sebagian tanahnya pada tahun 2020. Pembeli berinisial BR kemudian menawarkan untuk membantu memecah sertifikat tanah menjadi empat bagian, yang rencananya akan diatasnamakan Mbah Tupon dan ketiga anaknya. Namun, tanpa sepengetahuan Mbah Tupon, sertifikat tanah tersebut justru beralih nama ke pihak lain berinisial IF dan diagunkan ke bank dengan nilai pinjaman mencapai Rp 1,5 miliar. Akibatnya, tanah dan rumah Mbah Tupon terancam dilelang oleh bank.
Kasus serupa juga menimpa Bryan Manov, warga Argajadan, Tamantirto, Kasihan. Ia mendapati tanah warisan keluarganya telah beralih kepemilikan ke orang lain dan diagunkan ke bank. Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, menyebut kasus Bryan lebih ekstrem dibandingkan kasus Mbah Tupon. Dalam kasus Bryan, diduga terjadi pemalsuan dokumen karena tidak ada satu pun tanda tangan anggota keluarga Bryan dalam proses peralihan kepemilikan tanah tersebut.
Hal yang menarik dari kedua kasus ini adalah adanya indikasi keterlibatan pihak yang sama. Selain itu, dalam proses pemindahan nama kepemilikan tanah, pihak-pihak yang terlibat juga membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), seolah-olah transaksi tersebut sah secara hukum. Padahal, diduga kuat akta jual beli yang digunakan adalah palsu.
Maraknya kasus mafia tanah di Bantul ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Masyarakat diimbau untuk lebih berhati-hati dan teliti dalam setiap transaksi terkait tanah, serta melaporkan segala bentuk kecurigaan kepada pihak berwajib. Penyelidikan mendalam terhadap kasus-kasus yang ada diharapkan dapat mengungkap jaringan mafia tanah yang meresahkan masyarakat dan membawa para pelaku ke meja hijau.
- Mafia Tanah
- Kasus Tanah
- Bantul
- Pemalsuan Sertifikat
- Penipuan
- Abdul Halim Muslih