Revisi UU BUMN: Fleksibilitas Direksi Bukan Jaminan Bebas dari Jerat Hukum

Revisi UU BUMN: Fleksibilitas Direksi Bukan Jaminan Bebas dari Jerat Hukum

Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, menegaskan bahwa Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru disahkan tidak memberikan kekebalan hukum bagi para direksi. Penegasan ini disampaikan untuk menanggapi kekhawatiran publik terkait potensi pembatasan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut kasus korupsi di lingkungan BUMN.

Eddy Soeparno menjelaskan bahwa UU BUMN bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada direksi dalam pengambilan keputusan bisnis. Tujuannya adalah agar direksi tidak ragu dalam membuat kebijakan strategis karena khawatir akan implikasi hukum terkait potensi kerugian. Namun, fleksibilitas ini bukan berarti direksi BUMN dapat dengan bebas melakukan tindakan koruptif yang merugikan negara.

"Menteri Hukum dan HAM sudah menyampaikan dengan jelas bahwa jika ada indikasi korupsi, di manapun itu terjadi, termasuk di BUMN, tetap dapat ditindaklanjuti," ujar Eddy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2025).

Lebih lanjut, anggota Komisi VI DPR RI ini menekankan bahwa UU BUMN yang baru memberikan ruang bagi direksi untuk mengambil keputusan bisnis yang cepat dan tepat, namun tetap dalam koridor hukum dan tata kelola perusahaan yang baik. Setiap keputusan strategis tetap harus melalui persetujuan dewan komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

"Jika kemudian terjadi kerugian, harus dipastikan bahwa kerugian tersebut murni akibat risiko bisnis yang wajar, bukan karena rekayasa atau proses yang tidak sesuai dengan ketentuan," jelasnya.

Eddy Soeparno menepis anggapan bahwa UU BUMN membuat direksi kebal hukum. Ia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dan tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum. Setiap pelanggaran hukum, termasuk tindak pidana korupsi, harus diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Respons KPK terhadap UU BUMN

Sebelumnya, Ketua KPK Setyo Budiyanto memberikan tanggapan terkait polemik pasal dalam UU BUMN yang mengatur bahwa direksi BUMN bukan termasuk kategori penyelenggara negara. Setyo Budiyanto menilai bahwa ketentuan tersebut kontradiktif dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Setyo Budiyanto menjelaskan bahwa UU Nomor 28 Tahun 1999 merupakan landasan hukum administrasi khusus yang mengatur penyelenggaraan negara untuk mencegah praktik KKN. KPK, menurutnya, tetap berpedoman pada undang-undang tersebut.

KPK menegaskan bahwa tetap dapat menangani kasus korupsi di BUMN jika memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi, yaitu adanya penyelenggara negara, kerugian keuangan negara, atau keduanya. Penegakan hukum terhadap kasus korupsi di BUMN, menurut KPK, merupakan upaya untuk menjaga perusahaan tetap sehat dan akuntabel.