Transisi Energi Indonesia: Antara Ambisi dan Realitas yang Terfragmentasi
Indonesia menghadapi tantangan kompleks dalam upaya transisi energi menuju sumber-sumber yang lebih berkelanjutan. Alih-alih fokus pada solusi yang terbukti efektif dan berkeadilan, langkah-langkah yang diambil saat ini dinilai masih bersifat sporadis dan kurang terarah. Kritikus berpendapat bahwa rencana-rencana yang tertuang dalam dokumen pemerintah, seperti Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024, justru mengindikasikan kecenderungan untuk mempertahankan ketergantungan pada energi fosil melalui teknologi transisi yang meragukan efektivitasnya.
Seorang pengamat kebijakan dari CERAH, Wicaksono Gitawan, menyoroti pentingnya kedaulatan dan keadilan dalam proses transisi energi. Ia berpendapat bahwa Indonesia terlalu terpaku pada eksperimen teknologi yang tidak secara signifikan mengubah bauran energi nasional. Padahal, komitmen untuk mengurangi emisi telah diikrarkan melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 yang meratifikasi Perjanjian Paris. Namun, realisasi di lapangan masih jauh dari harapan. Target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2024 gagal tercapai, dengan realisasi hanya berkisar 13-14 persen menurut data Kementerian ESDM. Target tersebut kemudian direvisi menjadi tahun 2030.
Ketergantungan pada teknologi impor dari negara lain juga menjadi sorotan. Wicaksono berpendapat bahwa solusi yang ditawarkan oleh negara-negara tetangga atau melalui kerja sama multilateral belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan konteks lokal Indonesia. Bahkan, ia khawatir bahwa hal ini dapat memperpanjang ketergantungan pada energi fosil.
Dana internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) mengalami guncangan akibat penarikan diri Amerika Serikat. Namun, Indonesia masih memiliki akses ke skema pendanaan lain seperti Belt and Road Initiative dari China dan Asia Zero Emission Community dari Jepang. Wicaksono menekankan perlunya kehati-hatian dalam menilai arah dan dampak investasi tersebut, karena tidak semua investasi tersebut sejalan dengan komitmen netral karbon.
Investasi China, misalnya, masih didominasi oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk mendukung industri smelter nikel. Meskipun pemerintah China telah menyatakan akan menghentikan pendanaan PLTU di luar negeri, beberapa proyek PLTU yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan China masih berlanjut. Sementara itu, Jepang cenderung mengandalkan biomassa dan gas alam (LNG). Wicaksono menyoroti risiko deforestasi yang terkait dengan penggunaan biomassa berbasis pembakaran batu bara bersama limbah kayu, yang keberlanjutannya tidak terjamin.
Teknologi carbon capture juga dinilai belum menjanjikan. Meskipun Kementerian ESDM berencana untuk menguji coba teknologi ini di PLTU, Wicaksono mencatat bahwa teknologi ini baru efektif diterapkan di tiga PLTU di seluruh dunia dan hanya mampu menyerap kurang dari 50 persen emisi.
Untuk mencapai transisi energi yang efektif, Wicaksono mengusulkan agar investasi lebih difokuskan pada solusi yang nyata dan pembangunan kapasitas sumber daya manusia. Ia menyarankan agar dana dialokasikan untuk mendukung pelaku energi terbarukan, pelatihan ulang (reskilling), dan peningkatan keterampilan (upskilling) tenaga kerja di sektor energi. Dengan pendekatan ini, Indonesia tidak hanya dapat mencapai ketahanan energi, tetapi juga memperkuat ketahanan pekerja dan ekonomi secara keseluruhan.
Dengan langkah-langkah yang komprehensif, Indonesia dapat memperkuat kedaulatan energi dan tetap memiliki peluang untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, tanpa mengorbankan keadilan dalam proses transisi.