BRIN Kembangkan AI untuk Diagnosis Cepat dan Akurat Malaria di Daerah Endemik

Penyakit malaria masih menjadi tantangan kesehatan utama di Indonesia, khususnya di wilayah timur seperti Papua, Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengambil langkah inovatif dengan mengembangkan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk meningkatkan akurasi dan kecepatan diagnosis malaria, terutama di daerah-daerah terpencil.

Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa Papua menjadi episentrum malaria di Indonesia, menyumbang sekitar 88% dari total kasus nasional pada tahun 2024. Keterbatasan fasilitas diagnosis yang cepat dan akurat di Puskesmas, garda terdepan pelayanan kesehatan, menjadi salah satu kendala utama dalam penanganan malaria. Saat ini, diagnosis malaria mengandalkan pemeriksaan mikroskopis dan Rapid Diagnostic Test (RDT), yang memiliki keterbatasan dalam sensitivitas dan akurasi.

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN, Puji Budi Setia Asih, menekankan pentingnya diagnosis yang tepat dan cepat untuk penanganan malaria yang efektif. "Pendekatan mikroskopis berbasis kecerdasan buatan (AI) akan membantu meningkatkan sensitivitas dan akurasi diagnostik, yang merupakan prasyarat untuk eliminasi malaria," ujarnya. Sistem AI ini dilatih dengan data dari berbagai wilayah di Indonesia, memungkinkannya untuk mengenali berbagai spesies parasit malaria.

Pengembangan AI untuk diagnosis malaria dilakukan bersama dengan Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber (PRKAKS) BRIN. Algoritma Plasmodium menjadi dasar pengembangan diagnosis ini. Salah satu tantangan utama adalah belum adanya standardisasi pewarnaan yang tepat untuk gambar yang akan dianalisis. Kepala PRKAKS BRIN, Anto Satriyo Nugroho, menjelaskan bahwa sistem AI dirancang untuk secara otomatis menentukan status infeksi malaria pasien melalui analisis mendalam microphotograph sediaan darah tipis dan tebal.

Selain diagnosis, BRIN juga berupaya mengembangkan AI untuk membantu dalam pengendalian vektor malaria. Puji Budi Setia Asih berharap AI dapat diintegrasikan dengan teknologi lain seperti drone untuk mengidentifikasi tempat perindukan nyamuk Anopheles. "Penemuan sumber larva atau larva source management untuk Anopheles melalui AI sangat membantu program pengendalian malaria di Indonesia," jelasnya. AI juga diharapkan dapat membantu menentukan morfologi nyamuk, apakah termasuk spesies penyebab malaria atau bukan, yang kemudian dapat diverifikasi di laboratorium.

BRIN menargetkan riset malaria ini dapat membantu percepatan eliminasi malaria di Indonesia pada tahun 2030, sesuai dengan target yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan. Penelitian ini melibatkan kerjasama internal antar Pusat Riset di BRIN, serta kolaborasi dengan universitas dalam dan luar negeri, WHO, UNICEF, Tim Kerja Malaria Kementerian Kesehatan, dan Dinas Kesehatan.

Anto Satriyo Nugroho mengakui bahwa perubahan morfologi parasit malaria selama siklus hidupnya menjadi tantangan tersendiri dalam diagnosis. Namun, ia optimis bahwa penelitian dan pengembangan AI yang berkelanjutan akan menghasilkan alat diagnosis yang sangat penting dan berkontribusi signifikan dalam upaya pemberantasan malaria di Indonesia.